JAKARTA – Isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menjadi trending topik yang mencuat ke publik. Ramai-ramai media mengunggah ceramah keagamaan seorang ustazah yang menjadi celotehan warganet akibat dianggap telah menormalisasi kekerasan dalam lingkup kehidupan rumah tangga. Kritik dan komentar dengan beragam variannya bertebaran silih berganti.
Menguraikan duduk permasalahan, seorang ustazah bermaksud menyampaikan suatu risalah keagamaan di mana seorang muslim berkewajiban memelihara suatu hal yang menjadi rahasianya: aib keluarga. Namun, persoalan dan nada kontrovorsi bertebaran tatkala dia menterminkan konsep kekerasan keluarga dalam tarikan historis fenomena salah satu keluarga di Jeddah. Warganet menganggap, sang ustazah telah menormalisasi KDRT.
Sang ustazah bercerita, “Jadi ada suami-istri di Jeddah lagi bertengkar, suaminya pada saat itu marah luar biasa ke istrinya sampai wajah istrinya dipukul. Istrinya menangis saat itu,”
Bagaimana Islam Memandang KDRT?
Ke-Islam-an dan kekerasan adalah dua terma yang bertentangan. Dalam konsep keagamaan, Islam sangat melarang kekerasan, apalagi dalam keluarga. Kerap kali kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena ketidakpatuhan (durhaka) istri atau kealpaan suami dalam menjalankan kewajibannya, dalam Islam dikenal dengan nusyuz.
KDRT jelas hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan seorang ahli hukum Suriah abad-19, Ibnu Abidin menyatakan bolehnya permohonan hukuman jasmani (ta’zir, qiyas) oleh istri terhadap suami yang melakukan kekerasan terhadapnya. Tapi tidak sedikit pula yang menginterpretasikan surat An Nisaa ayat 34 sebagai legitimasi dari perbuatan kekerasan (memukul) terhadap istri.
Ayat ini sering menjadi perdebatan pelik yang melibatkan para intelektual muslim. Lafaz “wadhribuhunna” dalam realitasnya mengalami ambiguitas pemaknaan baik secara teks dan konteks. Para ahli tafsir dari era klasik (salafiyah), pertengahan sampai ulama kontemporer belum menemukan kesepakatan secara syar’i dalam memantik lafaz itu. Para ahli cuma sepakat memberikan kondisi yang ketat terhadap “wadhribuhunna” sebagai solusi terakhir dalam mempertahankan perkawinan akibat kedurhakaan (nusyuz) istri.
Surat An Nisaa ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menafsirkan “wadhribuhunna” sebagai suatu tindakan menegur dengan fisik yang tidak melukai terhadap fisik dan mental sang istri. Hal itu bisa dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kegagalan membina perkawinan karena kedurhakaan istri yang dibenarkan secara syar’i setelah memberi teguran dan memisah ranjang dengan sang istri (tidak menyetubuhi).
Imam Nawawi juga dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin memberikan rincian bagaimana suatu perbuatan “wadhribuhunna” itu bisa dilakukan. Dalam artian, memukul bukan terminan dari kekerasan, tapi usaha penyadaran. Oleh demikian terdapat ketentuan di dalamnya, seperti nusyuz istri dalam taraf akut, menggunakan sapu tangan, tidak sampai melukai dan membekas di tubuh sang istri dan tidak memukul di area vital yang berakibat fatal terhadap kondisi fisik istri, seperti kepala.
Dalam kitab Shahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw, bahwa Nabi SAW pernah bersabda dalam haji wada’-nya:
واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Tidak Menang Sendiri
Tidak hanya kali ini, isu keagamaan yang beragam mulai dari pencemaran nama baik, legalisasi kemungkaran dalam syariat atau penistaan agama itu sendiri sudah sering memenuhi ruang hidup kebangsaan kita, termasuk normalisasi KDRT saat ini. Latar kemanusiaan yang berbeda berupa etnis, budaya, ras dan agama memaksa kita hidup dalam harmonisasi kehidupan dengan kondisi yang beragam. Barang tentu ini menjadi wujud implikatif yang harus dirawat persatuannya.
Normalisasi KDRT dari seorang ustazah yang hangat diperbincangkan saat ini tentu tidak semata-mata dijustifikasi kesalahannya dan dihakimi orangnya. Dalam permasalahan ini, kita perlu mengurai secara bijak maksud sang ustazah menghadirkan riwayat suatu keluarga dalam ceramahnya yang kemudian memunculkan adanya anggapan legalisasi kekerasan terhadap perempuan.
Dalam ceramahnya, sang ustazah membeberkan kelapangan seorang istri atas perlakuan (kekerasan) suaminya. Bagi ustazah, kelapangan itu dibuktikan bukan hanya dengan ketiadaan perlawanan sang istri kepada suami, akan tetapi juga ketaidaaan keluh kesah istri yang disimpan sendiri, bahkan ketika didapati menangis oleh ibunya sendiri.
Di akhir riwayat, ustazah mengungkapkan konklusi naratif: “Jadi nggak perlu menceritakan aib yang sekiranya membuat menjelek-jelekkan pasangan kita sendiri,”
Sang ustazah tampak berusaha menyampaikan urgensi istri menjaga aib keluarga (pasangan)—bahkan dirinya—karena keaalpaan dia dalam menciptakan keharmonisan bersama keluarganya. Secara bersamaan pula tidak ditampik, ungkapan ustazah juga membuka potensi bagi adanya pemahaman “Normalisasi kekerasan” karena yang ditutupi adalah suatu perbuatan yang diidentifikasi sebagai suatu kekerasan, dan tentu sangat dilarang dalam Islam. (Nada Ibrahim, 2020).
Jadi terdapat semacam plesetan orientatif di mana suatu risalah keagamaan didapati menjadi dilematis atau bahkan bertentangan di sisi lainnya karena tarikan riwayat analogis (penisbatan) yang kurang pas. Namun dalam di sisi yang lain juga, nilai moralitas dari kelapangan istri di atas adalah bagaimana cara istri memberikan suatu penyadaran kepada suami melalui kelembutan yang mampu merepresentasikan keagamaan. Islam hadir di dalamnya, bagaimana dakwah Islam dijalankan selaras dengan perbuatan istri, yakni dengan penyadaran-penyadaran.
Hal itu jelas terbukti ketika pengaduan kepada orang tuanya tidak didapati dari istri, suami merasa sadar akan perbuatannya,
“Mendengar pernyataan itu, hati sang suami langsung luluh, ya Allah istrinya menyimpan aib aku”.
Menukil adagium bijak, kekerasan sejati adalah kelembutan itu sendiri.
(A. Fahrur Rozi/Angga)