■ Oleh: Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
OPINI, muisulsel.com — Manusia itu lemah. Salah satu kelemahan manusia adalah terbatas oleh banyak batas-batas kemanusiaan itu sendiri. Dan karenanya seringkali memahami banyak hal dengan “pembatasan” dan “keterbatasan” dirinya sendiri.
Satu di antara wujud keterbatasan manusia itu adalah ketika memberikan pujian dan/atau sebaliknya melemparkan keritikan biasanya dibatasi oleh batasan-batasan relatifitas kemanusiaannya. Apakah itu karena ada kepentingan, pertemanan, kekeluargaan, kelompok kesukuan atau agama, dan tentunya karena batasan politik.
Pujian atau sebaliknya keritikan dalam ajaran agama Islam sesungguhnya adalah sesuatu yang diapresiasi (didukung) oleh ajaran agama. Pujian adalah bentuk “apresiasi” kepada seseorang yang punya karunia kelebihan. Sebaliknya keritikan adalah salah satu bentuk “tadzkirah” atau peringatan dalam agama Islam yang menjadi karakteristiknya sebagai ajaran yang menjunjung tinggi “amar ma’ruf-nahi mungkar”.
Dan karenanya sebenarnya memuji dan atau mengeritik itu hal biasa dalam relasi sosial manusia. Tidak ada yang aneh. Apalagi dianggap sebagai sesuatu yang menentukan segalanya. Mungkin kalau saya ingin mengekspresikan dengan bahasa jalanan (street language): “take it easy man. Biasa aja bos!”.
Tapi memang di situlah salah satu titik kelemahan manusia. Ketika dipuji maka seolah kakinya tidak lagi berpijak di bumi. Lupa diri, lupa lingkungan, bahkan bisa saja lupa Dia Yang meminjamkan kelebihan dan pujian itu.
Sebaliknya ketika seseorang mendapat kritikan maka langit seolah runtuh. Dunianya seolah berakhir dan hancur. Mengalami sensitifitas yang tinggi dan alergi kritikan. Yang mengeritiknya dianggap jahat. Bahkan dipandang musuh yang harus dimusnahkan.
Pada sisi lain kelemahan manusia ada pada saat mengekspresikan pujian dan keritikan. Sering ketika memuji dan/atau mengeritik tidak lagi memakai standar nilai. Bahwa memuji atau mengeritik itu harus terbangun di atas dasar “kebenaran” dan “keadilan”. Itulah nilai (value) yang menjadi dasar pujian atau sebaliknya keritikan kepada seseorang.
Seseorang dipuji atau terpuji karena ada nilai kebenaran dan keadilan pada dirinya. Sebaliknya, seseorang akan dikeritik ketika nilai kebenaran dan keadilan itu tidak ada pada dirinya. Apalagi merendahkan kebenaran dan keadilan itu.
Tapi lagi-lagi kelemahan manusia membatasinya dalam menjunjung nilai itu dalam pujian atau keritikan. Manusia seringkali melemparkan pujian kepada seseorang bukan lagi didasarkan nilai (kebenaran dan keadilan) tadi. Tapi karena dorongan yang bersifat relatif dan rendah.
Itulah yang terjadi di zaman dunia yang penuh fitnah ini. Ada yang memuji atau mengeritik karena kepentingan sesaat tertentu. Ada juga karena kedekatan pribadi. Atau karena ikatan sosial, termasuk karena sesuku, seorganisasi, separtai, dan juga karena seagama.
Pujian dan keritikan kita kepada siapa saja harus mampu menembus batas-batas relatif kemanusiaan itu. Pujian atau keritikan harus didasarkan kepada nilai (kebenaran dan keadilan) tadi. Sehingga yang benar akan dibenarkan, dipuji dan diapresiasi. Dan yang salah akan disalahkan, dikeritik dan diluruskan.
Dan tentunya yang terpenting juga adalah motivasi pujian dan keritikan itu perlu tujuan yang jelas. Memuji sebagai bentuk apresiasi sekaligus dukungan kepada kebenaran dan keadilan. Mengeritik sebagai bentuk identifikasi kesalahan sebagai wujud amar ma’ruf nahi mungkar.
Bagi saya pribadi pujian dan/atau kritikan itu adalah terjemahan dari doa: “Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqna ittiba’ahu. Wa arinal bathila bathilan warzuqna ijtinaabahu” (ya Allah perlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkan kami untuk mengikutinya. Dan perlihatkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan kuatkan kami untuk menghindarinya).
Tapi untuk mampu memuji dan/atau mengeritik berdasar nilai ini diperlukan karakter benar dan adil pada diri sendiri. Jika tidak maka kata orang Arab: “faqidus syaei laa yu’thii”. Yang tidak punya apa-apa bagaimana mungkin bisa memberi?
Allahul musta’aan.■