JAKARTA – Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengatakan, Indonesia sebagai negara Pancasila yang berketuhanan tidak memberlakukan hukum agama tertentu tetapi wajib semua pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya.
Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD dalam pembukaan Ijtima Ulama Ketujuh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tema ‘Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa’ yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Selasa (9/10).
Menurutnya, negara Pancasila yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah ‘’mietsaqon ghaliedza’’ atau modus vivendi yang oleh Nahdlatul Ulama (NU) sering disebut sebagai Dar al Syahadah, oleh Muhamadiyah disebut Dar al Ahdi wa al Syahadah, dan ada juga yang menyebutnya Dar al Hikmah.
‘’Dalam istilah yang lebih akademis konsep Dar al Mietsaq atau Dar al Ahdi sering disebut sebagai Religious Nation State, negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler,’’ paparnya.
Untuk itu, kata Mahfud MD, penerapan Syariah dalam konteks NKRI, dalam arti luas mencakup semua jalan atau ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, ibadah mahdhah, dan muamalah.
‘’Sedangkan Syariah dalam arti khusus sering dikaitkan dengan hukum yang lebih spesifik, yakni dikaitkan dengan fiqh. Syariah dalam arti spesifik ini melahirkan aturan-aturan tentang ibadah baik mahdhah maupun ghairu mahdhah,’’ tuturnya.
Mahfud MD melanjutkan, syariah melahirkan kajian-kajian mengenai fiqh ibadah (ritual), dan fiqh sosial yang banyak cabangnya seperti Jinayah, Syakhsiyah, Siyasah, Mi’sa, dan lainnya.
Selain itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, bahwa Syariah dalam arti luas dapat dilaksanakan oleh pemeluk Islam dengan perlindungan negara.
Sedangkan Syariah dalam arti khusus, kata Mahfud, seperti hukum Fiqh Muamalah yang bergantung kepada bidang hukumnya.
‘’Untuk hukum publik seperti tata negara, administrasi negara, lingkungan hidup, dan lain-lain berlaku unifikasi atau berlaku yang sama untuk seluruh rakyat. Disini bertemu kalimatun sawa (kata sepakat),’’tambahnya.
Mahfud mengungkapkan, mengenai hukum privat, baik ritual maupun sosial bisa berlaku hukum masing-masing berdasarkan pada pilihan dan keyakinannya sendiri dan negara melindungi.
‘’Jika disepakati secara legislasi yang privat pun bisa hukum nasional. Misalnya tentang perkawinan, tentang wakaf, tentang pengelolaan zakat, tentang jaminan produksi halal, tentang peradilan agama dan tentang kompilasi hukum Islam,’’ pungkasnya. (Sadam Alghifari/Angga)