Ketika kerusuhan Ambon meletus pada 1999, masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru sempat ikut terpancing. Gesekan berbau SARA terutama terjadi di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Namun, kerusuhan di Dobo tidak berlangsung lama. “Konflik di Dobo hanya beberapa pekan saja. Setelah itu reda,” kata Ketua MUI Kabupaten Kepulauan Aru, Abdul Haris Elwahan, saat ditemui MUIdigital di Dobo pada Sabtu (25/9). Sementara di Ambon dan sekitarnya, konflik menyisakan trauma berbulan-bulan.
Mengapa konflik di Dobo bisa diredam dengan cepat? Abdul Haris menduga, karena sejak lama masyarakat Kota Dobo hidup berdampingan secara damai. Kalau pun ada gesekan, bisa diselesaikan secara kekeluargaan. “Setiap kali ada gesekan, semua pemuka agama di Kota Dobo segera turun tangan,” jelas Abdul Haris lagi.
Ada tiga tokoh agama berpengaruh di Dobo. Pertama, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua, Pastor Katolik. Dan, ketiga, Ketua Klasis Protestan. “Orang-orang menyebut ketiganya Trio Macan,” cerita Abdul Haris. Ia sendiri tak tahu mengapa masyarakat memberi sebutan seperti itu.
Setiap kali ada gesekan berbau SARA, masyarakat akan memanggil-manggil, “Mana Trio Macan, mana Trio Macan!” Lalu, ketiga tokoh agama ini akan segera datang untuk meredam konflik tersebut.
Saat kerusuhan 1999, ketiga tokoh agama ini segera membuat rekonsiliasi dibantu juga tokoh-tokoh adat. Setelah itu, kerusuhan selesai. Konflik bisa diredam dan kehidupan masyarakat kembali normal.
Bahkan, cerita Abdul Haris, hubungan antarpemeluk agama terasa lebih akrab dibanding sebelum konflik. Ini karena sejak lama mereka sebenarnya tidak pernah berkonflik. Hanya beberapa warga saja yang ikut terpancing dan ini mudah diredam.
Trio Macan juga menjadi mitra pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan gesekan. Setiap kali pemerintah mau membuat kebijakan, Trio Macan selalu dimintai pandangannya terlebih dahulu.
Dalam sebulan, kata Abdul Haris, ketiga tokoh agama ini setidaknya mengagendakan pertemuan sebayak tiga kali. Pertemuan membahas hal-hal yang berpotensi merusak kerukunan umat beragama.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, jelas Haris lagi, ada beberapa organisasi Islam yang aktif, yakni NU, Muhammadiyah, Hidayatullah, Dewan Masjid Indonesia, dan BKPRMI, ditambah majelis-majelis taklim dan organisasi-organisasi pemuda. Abdul Haris sendiri berasal dari NU.
Semua organisasi Islam tersebut saling bersinergi. Mereka menyadari kalau berdakwah di Kepulauan Aru tidak mudah. Kepulauan Aru memiliki banyak sekali pulau. Totalnya, kata Abdul Harus, bisa mencapai 217 pulau dengan 79 pulau berpenghuni.
Dari pulau-pulau yang berpenghuni tersebut, kebanyakan pemeluk Islam dan Kristen berbaur. Bahkan, dalam satu keluarga, bisa memeluk bermacam agama. Namun, kata Abdul Haris, tidak pernah terdengar ada konflik di antara mereka. Bupati Kepulauan Aru sendiri telah mencanangkan Aru sebagai barometer toleransi antarumat beragama di Maluku.
Kendala utama dakwah di Kepulauan Aru, menurut Abdul Haris, adalah transportasi. Tidak mudah mengunjungi pulau demi pulau di kabupaten ini jika tak memiliki kapal. Di sisi lain, jumlah dai di Kepulauan Aru sangat kurang. Tidak heran, dakwah masih belum menyentuh masyarakat Muslim di semua pulau di kabupaten ini. (Mahladi/ Nashih)