JAKARTA— Pertemuan pimpinan majelis-majelis agama bersama Kementerian Agama yang melahirkan Deklarasi Kerukunan Umat Beragama pada Senin (27/9), diharapkan mampu meredam konflik antarumat beragama di Indonesia.
Ketua Komisi Antar-Umat Beragama (KAUB) MUI, KH Abdul Moqsith Ghozali, menyatakan selama ini, pertemuan antarpimpinan majelis agama baru terjadi pascaberita tentang konflik beragama sudah menyebar di media.
Sayangnya, tangkapan berita media yang kurang lengkap dan menyeluruh bukan meredam masalah melainkan membumbui konflik semakin memanas.
Media menurut dia, terkadang bukan sebagai ruang untuk menghindari konflik, namun bisa malah menjadi provokator. Saat ini, pada era digital dan media sosial yang berkembang pesat, tantangan untuk merespons konflik beragama dan meledaknya konflik beragama itu semakin rumit.
“Saya berharap, melalui deklarasi pada hari ini, pimpinan Majelis agama-agama ini, begitu ada konflik, kita harus segera ketemu. Jangan bicara terhadap media terlebih dahulu. Seringkali, media juga menjadi bahan provokasi juga. Kita bertemu untuk meredam agar potensi yang lebih besar tidak terjadi,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara Konsolidasi Tokoh Majelis Agama dan Deklarasi Kerukunan Umat Bergama, Senin (27/09) di Jakarta.
Dia menerangkan, kerukunan umat beragama ini bukan hanya perintah UUD dan Pancasila, namun juga mandat kitab suci. Ajaran agama menerangkan dengan gamblang bagaimana agama kemudian harus menjadi corong perdamaian. Melalui sikap dan laku hidup tokoh-tokohnya, agama kerap mengajarkan tentang perdamaian.
“Di dalam pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa tugas negara, tugas kita sebagai warga negara, salah satunya adalah terlibat dalam proses perdamaian dunia. Di dalam kitab suci seluruh agama-agama terutama yang ada di Indonesia, semuanya tidak ada yang membawa ajaran kekerasan. Sebaliknya, semuanya membawa ajaran perdamaian, ” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama, KH Abdul Manan Ghani, menyampaikan persaudaraan antarumat beragama harus terus dibangun.
Umat Islam, kata dia, harus terus menanamkan nilai ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) maupun ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa). “Persaudaraan wathaniyyah bahwa kita satu bangsa dan bahasa, sedangkan persaudaraan insaniyah kita sebagai manusia mempunyai satu suara,” ujarnya.
Dia menambahkan, dialog-dialog antartokoh majelis agama-agama seperti ini sangat penting untuk meredam konflik beragama di Indonesia. Namun, dialog saja tidak cukup. Tokoh agama harus kreatif mencari cara selain dialog, melalui aksi-aksi nyata, untuk menanamkan rasa saling memahami antaragama.
“Saya kira tidak cukup dengan dialog saja, namun juga dengan aki-aksi nyata. Mari kita berharap dialog terus menerus dilakukan, tetapi tidak cukup hanya dialog, namun juga dengan aksi bersama menyelesaikan persoalan-persoalan lintas agama ke depan, ” ujarnya.
Dia menerangkan, salah satu aksi nyata selain dialog adalah dengan aksi-aksi bersama lintas agama. Salah satu berkah pandemi ini, dalah munculnya semangat-semangat kemanusiaan lintas agama untuk membantu bersama. Misalnya, di Jakarta ada 12 titik Warung Kerukunan hasil Kolaborasi lembaga lintas agama untuk memberikan makan siang gratis.
“Ada aksi bersama-sama, kita membuat warung kerukunan di 12 titik dari Matakin, PHDI, Walubi, PGRII, tetapi ini baru terbatas dengan lembaga takmir masjid dan komunitas keagamaan. Ke depan, Komisi Kerukunan MUI bisa bertemu dan menindaklanjuti dengan aksi nyata,” ujar dia. (Azhar/Nashih)