JAKARTA— Aset perbankan syariah di Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini memunculkan optimism bagi tumbuh kembangnya bank syariah di Tanah Air.
Data Statistik Perbankan Syariah yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Januari 2021 menyebutkan setahun terakhir aset perbankan syariah tumbuh lebih kurang 14,2 persen. Padahal total aset 2019 menunjukkan angka Rp 500 triliun. Angka itu tumbuh menjadi Rp 571 triliun pada tahun lalu yaitu 2020.
Fakta menggembirakan lain adalah kian menjamurnya bank-bank syariah. Masih menurut Data OJK saat ini ada 34 pelaku usaha perbankan syariah di Indonesia.
Terdiri dari 14 bank umum syariah (BUS) dan 20 unit usaha syariah (UUS) serta 163 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Dari jumlah 20 UUS itu tujuh di antaranya berasal dari bank umum swasta nasional termasuk UUS Bank Permata, BTN, Cimb Niaga, Maybank, OCBC NISP, Sinar Mas dan Danamon. UUS ini merupakan unit usaha syariah dengan kontribusi besar bagi perbankan syariah. Selain itu 13 UUS berasal dari bank daerah.
Apa dan seperti apakah bank syariah? Mengapa kita penting memilih bank syariah?
Ketua Bidang Industri Bisnis dan Ekonomi Syariah DSN MUI, KH Dr Moch Bukhori Muslim, mengatakan jika sistem bank syariah adalah sistem bagi hasil.
Mekanismenya adalah mekanisme yang sesuai dengan prinsip syariah. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Pasal 34 ayat (1) mencantumkan bahwa bank syariah memiliki prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
“Secara spesifik MUI tidak mengeluarkan fatwa bank syariah, tetapi banyak fatwa yang telah dikeluarkan terkait sistem dan kontrak pada bank syariah,” kata dia saat berbincang dengan MUIdigital, Rabu (7/9).
Kiai Buchori menjelaskan fatwa terkait sistem dan kontrak pada bank syariah ini dikeluarkan DSN MUI setelah melalui kajian panjang dalam focus group discussion yang dilakukan DSN MUI (aspek syariah), DSAS ( aspek akuntansi syariah), regulator, para praktisi, dan Mahkamah Agung, di antaranya:
a. Bank syariah boleh menarik denda keterlambatan dari nasabahnya dalam akad murabahah dengan syarat pelakunya adalah nasabah mampu yang menunda pembayaran
b. Jika terjadi transaksi dengan harga dan barang, maka serah terima sah, baik dengan menerima fisiknya atau nonfisiknya, walaupun fisik belum diterima, tetapi bisa memanfaatkannya.
Menurut Kiai Buchori, kedua fatwa tersebut adalah sebagian dari fatwa fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI, namun dari kedua fatwa diatas seharusnya sudah meyakinkan kita jika kita seharusnya dapat mempertimbangkan apakah akan terus menggunakan bank konvensional ataukah kita bisa memilih bank syariah sebagai gantinya. “Yang mebedakan adalah akad,” kata dia menjelaskan perbedaan bank konvensional dan bank syariah.
Kiai Buchori menuturkan, seperti yang diketahui bersama riba itu hukumnya adalah haram, sedangkan MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank konvensional itu adalah haram. Allah SWT melarang riba terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 275 dan 278-279, surat Ali Imran ayat 130, dan surat Ar Ruum ayat 39.
Dia menegaskan, dengan memilih bank syariah kita akan terhindar dari riba, karena Allah SWT melarang riba dan banyak kerugian yang didapat dari riba.
Salah satunya, menurut dia, dalam praktik perbankan konvensional yang di dalamnya mengandung riba, salah satu pihak (nasabah) dirugikan dalam kegiatan pinjaman uang, dimana bank konvensional menerapkan sistem bunga dalam setiap transaksi.
Dia menambahkan persentase bunga yang diajukan bank konvensional sangat besar. Selain itu, jika nasabah melakukan kredit macet maka pihak bank akan mengenainya denda yang harus dibayar sesuai waktu terjadinya kredit macet tersebut.
“Aspek aspek tadi dapat menjadi penguat pemikiran kita agar bisa menggunakan bank syariah daripada terus menggunakan bank konvensional,” ujar tokoh yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. (Muhamad Saepudin/ Nashih)