JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia diimbau selalu mengedepankan khitah (arah perjuangan) Islahiyah Nabawiyah dalam menjalankan kerja organisasinya untuk mengawal umat.
Demikian disampaikan Wakil Presiden Republik Indonesia, KH Ma’ruf Amin, saat memberi sambutan dalam acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I MUI periode 2021-2025 yang diselenggarakan pada Rabu, (25/8).
Mukernas pertama ini akan membahas urgensi masalah umat beserta program kerja selama satu tahun ke depan.
“Dahulu mukernas ini dikenalnya sebagai Rakernas, tapi pada intinya tujuannya sama. Prinsipnya kita harus melakukan penguatan, meluruskan khitah (arah perjuangan), khitah kita adalah Islahiyah Nabawiyah. Hal yang harus kita perbaiki adala langkah-langkah yang sejalan dengan khitah tersebut,” ujar Kiai Ma’ruf.
Mukernas kali ini mengambil tema Memperkuat Peran MUI dalam Kerja Sama Ulama, Umara dan Masyarakat dalam Menghadapi Covid-19 dan dampaknya.
Menurut Kiai Ma’ruf Amin, Mukernas harus dilakukan secara cermat, terstruktur dan teroganisasi dengan baik.
Meski demikian, Mantan Ketum MUI itu menekankan bahwa khithah atau arah perjuangan akan berubah sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Ia menekankan bahwa MUI perlu menyiapkan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan cita-cita perjuangan yang sesuai dengan Islahiyah nabawiyah.
“Hal ini menjadi sangat penting. Memang pada rapat-rapat sebelumnya sudah ada berbagai pembahasan untuk menguatkan peran MUI dalam mengatasi masalah umat. Namun, saya rasa perlu dibuatkan juga peta dakwahnya,” tuturnya.
Kiai Ma’ruf menjelaskan hal-hal konkret apa saja yang harus dilakukan dalam penyusunan program di Mukernas.
Pertama, harus dilakukan verifikasi keadaan lapangan (tahqiqul waqi’).
Kiai Ma’ruf menyampaikan bahwa Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI kembali merekomendasikan peta dakwah untuk dimuat. Dijelaskan Kiai Ma’ruf, peta dakwah dapat dibuat dengan menggunakan pendekatan per provinsi.
Dengan demikian, strategi dan langkah-langkah yang dilakukan oleh MUI nantinya dapat disesuaikan dengan keadaan unit per provinsi tersebut.
Kedua adalah tahqiqul Manath. Maksudnya, melakukan verifikasi masalah yang akan diperbaiki dengan melihat sebuah masalah itu apakah masih relevan atau sebaliknya.
Bagi Kiai Ma’ruf, penting untuk tidak meng-copy program yang terdahulu dan program baru yang berdasarkan pada peta lapangan yang dihadapi. Karena itu, pada saat Mukernas, Kiai Ma’ruf mengusulkan agar perlu dilakukan langkah ketiga yakni, kegiatan telaah ulang.
“Hal ini tak kalah penting supaya program yang ada dapat terus di-update sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi,” ujarnya.
Langah kokret keempat dijelaskan Kiai Ma’ruf, harus adanya pemangku program yang berperan untuk melakukan upaya perbaikan-perbaikan.
Kata Kiai Ma’ruf, para pemangku ini harus diisi pemangku dan orang-orang yang berilmu. Pengampu adalah pemikul atau pendukung utama. Dalam konteks ini, Kiai Ma’ruf nenyebutkan bahwa pemikul utamanya adalah ormas-ormas (organisasi masyarakat Islam) khususnya yang di bawah naungan MUI.
“Tercatat ada 61 Ormas dibawah naungan MUI. Sebenarnya untuk menyatukan seluruh kekuatan ajarannya sudah ada di dalam Islam. Tetapi dalam implementasinya gerakannya belum menyeluruh atau menyatu. Oleh sebab itu Wantim sedang menyusun konsep untuk ini, apa saja yang harus diperbaiki sehingga semua bisa utuh dan menyatu,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini.
Menurut Kiai Mar’uf perbedaan yang ada di ormas bukan berarti tidak bisa disatukan.
Kiai Ma’ruf menyinggung bahwa perbedaan ini sudah ada sedari dahulu sehingga menurutnya perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu.
Dalam pandangan Kiai Ma’ruf. perbedaan tidak boleh menjadi suatu yang memantik konflik. Kembali menekankan, Kiai Maruf mengatakan bahwa sekali pun berbeda tapi keutuhan itu tidak boleh hilang.
“Tidak dikhawatirkan perbedaan dalam mencari jalan kebenaran yang dikhawatirkan itu pengaruh hawa nafsu. Hal yang dapat memicu konflik itu adalah perbedaan yang tercampur hawa nafsu. Kalau kita lepas dari ini, insyaAllah perbedaan itu bisa diintegrasikan,” pungkasnya.
Selain berasal dari Ormas, pemangku kedua yang posisinya tak kalah strategis adalah orang-orang yang berilmu dan memiliki daya tahan lebih. Nantinya mereka akan menjalankan tugas melakukan upaya-upaya perbaikan masalah umat.
Ia menjelaskan bahwa tantangan zaman kini semakin besar. Dengan demikian, sudah seharusnya MUI membantu mempersiapkan juru-dakwah yang mampu menghadapi tantangan tersebut.
“Paling tidak ia memiliki ilmu, orang yang kita lepas jadi juru dakwah adalah orang-orang zu Ilmi (berilmu) dan orang yang memiliki daya tahan kemudian orang yang sabar, karena kalau tidak sabar dalam menghadapi medan dakwah, ada kemungkinan ia mundur teratur atau mengambil langkah-langkah emosional yang dapat merusak tatanan,” tutur Kiai Ma’ruf.
Kiai Ma’ruf mengingatkan tugas dan peran ulama dan umara dalam MUI adalah mengawal. Bila ada tanda kerusakan, Kiai Ma’ruf meminta MUI harus cepat tanggap dalam mengambil perannya.
Terakhir ia juga mengingatkan bahwa negara ini adalah negara yang berdiri atas dasar kesepakatan. Apabila ada perbedaan, diingatkan Kiai Ma’ruf jangan ampai ada keretakan. Cara pandang dan tindakan ini penting karena sesuai dengan sila ketiga, yakni persatuan Indonesia.
“Pada intinya saya ingin mengajak semuanya untuk bekerja sama. Kita masih menghadapi wabah Covid-19 ini tanggung jawab kita semua dalam hal mas’uliyah diniyah (tanggungjawab keagamaan),” ungkapnya.
Kiai Ma’ruf mengingatkan bahwa masalah penanggulangan Covid-19 juga adalah masalah agama, secara syar’i menjaga umat dan memelihara umat dari bala virus merupakan tujuan pokok dari agama.
“Menjaga jiwa atau hifdzun nafs adalah salah satu prinsip syariah Islam. Satu tujuan beragama dalam maqashid syariah (tujuan dari syariat Islam) adalah hifdz nafs yaitu menjaga jiwa, maka hendaknya kita memelihara dan melindungi diri dari bala virus ini,” pungkasnya.(Hurryyati Aliyah/Angga)