JAKARTA—Penuturan dari sejumlah penyintas Covid-19 yang sempat mengalami gejala parah, adalah turunnya spiritualitas dan mental.
Di saat mereka berjuang melawan serangan Covid-19 yang mengganas dalam tubuh, di saat yang sama pula, mereka benar-benar dituntut untuk tetap yakin, dan optimis tentang kuasa dan rahmat Sang Pencipta, Allah SWT.
Suasana yang tentu berat untuk dibayangkan. Mirisnya lagi, situasi sedemikan rupa bagi sebagian bahkan banyak orang, meninggalkan bekas yang akut. Tak sedikit yang terpaksa harus berhadapan dengan trauma skis yang berkepanjangan.
Di sinilah peran penting bimbingan ulama. Hal ini terungkap dalam dialog di kanal resmi Youtube TV MUI dengan Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Kemenag, Prof M Adlin Sila yang dipandu Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis yang dikutip MUIdigital, Rabu (25/8).
“Kita pakai teori sosiologi, misalnya bahwa agama itu membantu kesehatan mental penderita, penyintas, dan masyarakat pada umumnya,” ujar Adlin.
Adlin menyebutkan Survei Puslitbang Bimas Agama Dan Layanan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama berjudul “Urgensi Layanan Agama di Masa Pandemi Covid-19” menyebutkan 55,1 persen respons setuju bahwa Covid-19 memengaruhi keyakinan/praktik keberagamaan. Pandemi Covid-19 memang telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan, termasuk rutinitas mengakses kajian, ceramah, dan tausiyah keislaman secara langsung tatap muka dengan ustadz yang barangkali biasa dilakoni dalam kondisi normal. Apalagi bagi mereka yang terpapar parah Covid-19. Kendala akses tentu lebih sulit lagi.
Kabar baiknya, 86,7 persen responden berupaya terhubung dengan (mencari support dari) pemuka agama dan komunitas agama mereka. Saat isolasi mandiri, ragam aktivitas dilakukan. Sebanyak 56,3 persen mendengar atau membaca kitab suci, 47,2 persen mendengar ceramah, dan 42,8 persen dzikir/meditasi.
Sedikit sekali yang konsultasi-psikologis khusus. Hanya 22,1 persen responden yang mengaku pernah mendapat konseling psikologis-keagamaan, selama menjalani pandemi ini. Survei Kemenag ini juga menemukan fakta masih sedikit layanan konsultasi psiko-spiritual (psikologi keagamaan) yang tersedia. Padahal, sebagaimana disebutkan, 87 persen memang betul-betul berupaya terhubung dengan para pemuka agama masing-masing.
Adlin mengatakan jika alasan survei ini dilakukan salah satunya untuk mengetahui, seberapa besar pengaruh agama, terutama untuk layanan keagamaan di masyarakat. Supaya pemerintah tahu kira-kira layanan keagamaan apa yang diperlukan khusus penyintas Covid-19.
Dia menambahkan jika Puslitbang ingin menguji, ketika dimasa pandemi seperti ini, apakah keyakinan/keberagaman masyarakat di Indonesia masih seperti itu atau tidak. Dan ini dikonfirmasi penelitian-penelitian di luar negeri, bahwa memang agama itu, spiritualitas, religiusitas punya pengaruh dalam proses penyembuhan pasien.
Survei pun dilakukan secara daring, tidak face to face karena persoalan pandemi. Dan dilakukan kepada beberapa pemeluk agama yang berbeda di Indonesia. “Kita taat pada prokes dan PPKM darurat, sehingga yang kita lakukan adalah menelpon dan, men-share quisoner kita melalui platform media sosial,” ujar Adlin.
Dia menambahkan survei dilakukan dengan mengontak ketua-ketua penyuluh agama di seluruh provinsi di Indonesia, lalu meminta tolong untuk menyebarkan angket di group WhatsApp para penyuluh agama ini. “Kita berhasil menjaring 1.500 responden yang mengisi link angket yang tadi sudah kita sebar. Ditambah dengan 20 informan yang kita interview lewat telepon,” ujar Adlin. (Muhamad Saepudin/ Nashih)