JAKARTA – Terorisme merupakan ancaman nyata , karena bentuk penistaan terhadap agama. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa.
Tindak terorisme ini juga mendapat perhatian khusus dari Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI.
Untuk meningkatkan penguatan keutuhan bangsa di tengah keadaan krisis pandemi Covid-19, BPET mengadakan seminar diskusi virtual yang bertajuk “Modus Donasi dalam Pendanaan Terorisme di Era Pandemi Covid-19” pada akhir pekan lalu, Jumat, (14/8).
Tujuan webinar membahas Modus Donasi dalam Pendanaan Terorisme ini diadakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar lebih berhati-hati terhadap modus pendanaan teroris berkedok filantropi Islam.
Penulis buku “Pendanaan Terorisme di Indonesia,” Garnadi Walanda, turut mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai pendanaan teroris dalam sesi webinar ini.
“Tindakan sekelompok teroris dalam pendanaan kelompok nya merupakan suatu anomali yang perlu dianalisis. Mereka membumbui slogan organisasi mereka atas dasar jihad. Lembaga nirlaba seperti lembaga badan amal, yayasan, pendidikan berdasarkan riset terbukti rentan mengalami penyalahgunaan donasi,” ungkap Garnadi.
Berdasarkan laporan Financial Action Task Force 2014 dan NRA TPPT 2019 mengungkapkan, lembaga nirlaba yang paling rentan adalah mereka yang terlibat dalam kegiatan layanan.
Dijelaskan Garnadi, beberapa lembaga nirlaba seperti badan amal dan yayasan melakukan kegiatan filantropi dengan kedok agama untuk mengumpulkan penggalangan donasi dari simpatisan/anggota luar yang tidak tahu apa-apa mengenai kemana jalannya aliran donasi tersebut.
Garnadi menjelaskan, tidak semua badan amal, yayasan, dan lembaga nirlaba seperti itu. Ia mencatat, masih banyak lembaga amal yang memiliki visi dan misi mulia.
Meski demikian, ia mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap lembaga amal yang sekiranya mencurigakan atau tidak terdaftar secara resmi.
“Organisasi nirlaba atau NGO berbentuk badan amal, yayasan, dan lainnya memiliki peran serta tanggung jawab dalam sebuah pembangunan, baik di lingkup desa maupun perkotaan. Namun yang perlu diperhatikan setiap bentuk korporasi dapat dijadikan sebagai alat oleh personel atau pemiliknya,” ujarnya.
Suatu korporasi yang bergerak di bidang penggalangan dan pengumpulan dana dari masyarakat, sengaja didirikan atau diambil alih oleh sekelompok teroris.
Temuan Garnadi, korporasi terselubung secara struktural berada di bawah organisasi teroris yang bertindak sebagai korporasi induk. Namun, kendali dan permodalan sepenuhnya berada di tangan pengurus atau anggota dari korporasi terselubung itu sendiri. Adapun modus-modus yang dilakukan korporasi terselubung tersebut bermacam-macam.
Diungkapkan Garnadi, modus penggalangan dana yang dilakukan dapat berupa ajakan berinfak, pasang iklan di website media milik komunitas, penyebaran kotak infak di rumah makan, toko-toko, akun media sosial, dan lainnya.
“Hasil galang dana tersebut dimanfaatkan pkorporasi terselubung yang terafiliasi dengan jaringan teroris sebagai pembayaran gaji pengurus, biaya sewa kantor, pembelian bahan-bahan bom, dan lainnya,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Regional Head Counter-Terrorist Financing Division IACSP Asia Tenggara ini.
Menanggapi persoalan penyalahgunaan dana amal ini, Garnadi memberikan apresiasi pada MUI yang telah mengeluarkan fatwa No. 3 Tahun 2004 terkait pelarangan kegiatan terorisme.
Namun demikian, menurutnya, perlu adanya fatwa penguatan dari MUI dan juga regulasi dari pemerintah terkait penyalahgunaan donasi untuk terorisme ini.
“Ya, perlu diadakan fatwa penguatan yang lebih tegas dan spesifik dari MUI serta regulasi pemerintah untuk mencegah perluasan kegiatan terorisme terutama saat kondisi pandemi seperti ini juga perlu diperhatikan,” pungkasnya. (Hurryyati Aliyah/Angga)