Pandemi corona virus disease 2019 (COVID-19) membuat masyarakat semakin membuka mata terhadap pentingnya menjaga kesehatan. Tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang terdekat. Menjaga kesehatan menjadi kunci untuk melalui masa pandemi COVID-19.
Selain dengan menerapkan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, mengurangi mobilitas ke luar rumah, dan menghindari kerumunan) serta menjaga pola hidup sehat, asupan vitamin atau suplemen juga menjadi salah satu solusi yang diminati.
Pada dasarnya, masyarakat sudah mengenal jenis vitamin yang terbuat dari bahan alami, yaitu diproduksi dari sayuran, buah-buahan, sereal dan beberapa makanan hewani. Sebagai contoh, vitamin C dari jeruk, vitamin B dari bekatul, vitamin A dari betakaroten minyak sawit, dan lainnya.
Di samping itu, masyarakat juga dapat dengan mudah menemukan 13 jenis vitamin esensial yang dapat dikategorikan sebagai vitamin larut air dan vitamin larut lemak, dengan komponen aktif spesifik. Vitamin sintetik dianggap lebih mudah dikonsumsi dan dirasakan cepat khasiatnya. Namun, masyarakat perlu berhati-hati terhadap konsumsi jenis-jenis vitamin sintetik, karena dibuat melalui proses kimia dan enzimatik di dalam industri menggunakan bahan baku polimer makanan.
Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr, dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University menjelaskan bahwa kebanyakan suplemen multivitamin yang dibuat oleh industri adalah golongan vitamin sintetik.
Umumnya, industri hanya memperhatikan bentuk molekul vitamin yang akan diproduksi, seperti: (a) vitamin C sintetik dibuat dari pati jagung yang diekstrak dari asam askorbat dengan asam, aseton dan enzim; dan (b) vitamin E sintetik dibuat dari toluene dan 2,3,5-trimethyl-hydroquinon yang dikatalis oleh Fe dan gas hydrogen chloride.
“Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembuatan vitamin sintetik secara industri melibatkan reaksi-reaksi kimia dan sifat vitamin yang dihasilkan akan berbeda dengan sifat vitamin alami. Beberapa bahan aditif lain juga sering ditambahkan walaupun sebenarnya tidak diperlukan dalam vitamin, seperti titanium dioksida, yang sering digunakan sebagai pigmen pada vitamin,” ungkap Sedarnawati.
Bahan tidak aktif lainnya, lanjut Sedarnawati, seperti magnesium stearat dan gliserin, yang dapat berasal dari sumber hewani atau nabati. Bahkan beberapa formulasi vitamin D cair mengandung etil alkohol (hingga 65%). Dengan begitu, harus dipastikan sumber hewani dan alkohol yang tercampur berasal dari bahan halal. (YN)