— Dalam konteks manusia biasa, Rasulullah Muhammad SAW juga pernah dilanda kesedihan, bahkan hingga meneteskan air mata.
وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS An-Nahl: 126)
Perhatikan kutipan ayat di atas, kutipan ayat di atas diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW bersedih karena salah satu pasukan yang dicintai yang juga paman kandung beliau, Hamzah gugur dalam Perang Badar.
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf Al-Quraisy dan biasa dipanggil Abu Imarah. Menurut Syekh Muhammad Sa’id Nursi dalam bukunya, “Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah” (Diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, 2005, Pustaka al-Kautsar), dia digelari Sayyid Asy-Syuhada atau Penghulu Para Syuhada, bahkan bergelar Asadullah (Singa Allah) dan Asad Ar-Rasul (Singa Rasulullah).
Pria muda Quraisy yang paling mulia dan paling kuat kesadaran akan harga dirinya ini, juga merupakan seorang pemanah andal, dia cerdas, dan bahkan akhlaknya pun mulia. Dalam buku itu disebutkan pula bahwa Rasulullah mempercayai Hamzah sebagai orang pertama yang membawa Panji dalam Islam. Dia juga ditunjuk sebagai komandan 30 pasukan berkuda dari kalangan Muhajirin dalam Perang Saiful Bahar.
Ketika Perang Badar berlangsung, Syekh Sa’id Nursi mengatakan Hamzah, dengan mengandalkan dan bersenjatakan dua pedang, berhasil mengalahkan dan membunuh beberapa pasukan musuh, seperti Syaibah bin Rubai’ah, pahlawan tentara kafir Quraisy, Thuma’ah bin ‘Ady, dan lainnya. Akan tetapi, Hamzah akhirnya gugur sebagai syahid karena tikaman tombak Wahsy bin Harb, budak milik Jubair bin Muth’im. Bahkan, jika Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan bin Harb, membedah perut Hamzah dan mengunyah hatinya.
Tidak hanya sampai di situ, tentara orang-orang musyrik juga memotong hidung dan kedua telinga Hamzah, lalu mencincang jasadnya. Rasulullah sangat bersedih atas kejadian ini. Saat itu Beliau mengatakan, “Tidak akan ada lagi orang yang mengalami sepertimu, wahai Hamzah. Aku belum pernah mengalami kondisi sesedih ini. Jibril datang dan memberitahu bahwa nama Hamzah termaktub di penghuni langit yang tujuh dengan nama Hamzah bin Abdul Muthalib, Asad Allah (singa Allah) dan Asad Rasulih (singa Rasul Nya).”
Selanjutnya Beliau mengatakan, “Demi Allah, jika suatu hari nanti Allah menganugerahkan kemenangan kepada kita atas mereka, maka kita akan mencincang jasad-jasad mereka, di mana seorang arab pun belum pernah melakukan yang sepertinya.” Saat itulah diturunkan firman Allah, Al-Qur’an Surat An Nahl ayat 126.
Berdasarkan Tafsir yang diterbitkan Kementerian Agama Republik Indonesia, dalam ayat ini Allah menegaskan kepada kaum Muslimin, yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan dalam menghadapi lawan.
Dari tafsir tersebut disebutkan bahwa Pedoman dakwah yang diberikan Allah pada Surat An Nahl ayat 126 ini, adalah pedoman dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah. Dakwah berjalan dalam suasana damai.
Akan tetapi, jika dakwah mendapat perlawanan yang kasar, misalnya para dai disiksa atau dibunuh, Islam menetapkan sikap tegas untuk menghadapi keadaan demikian dengan tetap menjunjung tinggi kebenaran.
Dua macam jalan yang diterangkan Allah dalam ayat ini, seperti yang tertuang dalam Tafsir Kemenag RI, pertama, membalas dengan balasan yang seimbang. Kedua, menerima tindakan permusuhan itu dengan hati yang sabar dan memaafkan kesalahan itu jika bisa memberi pengaruh yang lebih baik bagi jalannya dakwah.
(Muhamad Saepudin/Nashih)