JAKARTA – Kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat sekarang cukup tinggi. Selain kasus rudapaksa, perkawinan anak di usia dini pun menjadi salah satu tindak kekerasan seksual. Kasusnya pun variatif dan sangat kompleks, bahkan modusnya pun makin canggih.
Maka dari itu Ketua Bidang Hukum dan HAM, Prof. Dr. KH Noor Achmad menegaskan, jika pemerintah harus mampu memberikan Undang Undang yang sangat diperlukan, karena kita tahu bahwa kekerasan seksual di Indonesia meningkat.
Kiai Noor melanjutkan, jika perlu ada hukum spesialis yang tidak hanya terkait dengan pidana.
“Perlu ada suatu kajian atau undang-undang khusus untuk mengaturnya,” tutur dia dalam program webinar Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tema Menggali Pokok Pikiran Tindak Pidana Kejahatan Seksual dari Perspektif Multi Disiplin, Jumat (30/7).
Lebih jauh Kiai Noor memaparkan bahwa penyusunan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sudah akan diputuskan saat periode yang lalu, namun Kiai Noor berujar jika kita harus berjuang, karena belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua orang.
“Apa yang kita lakukan saat sekarang ini selalu akan bermanfaat bagi umat kedepan. Kita tahu bahwa Undang Undang ini cukup krusial, setahu saya pembahasan tentang judul saja itu lama, tentang Penghapusan Kekerasan atau tentang Pidana Seksual,” ujar Kiai Noor.
Kiai Noor menerangkan, kalau pembahasan judul saja sudah cukup panjang. Sebab, judul mempengaruhi materi hukum yang akan dikembangkan bersama-sama.
Kiai Noor berharap, semua produk Undang Undang mempunyai satu pedoman secara khusus.
Kata Kiai Noor, setiap undang-undang tidak akan lepas dari kajian-kajian filosofisnya, sosiologisnya dan yuridisnya, termasuk aspek kajian politisnya.
“Kajian-kajian filosofis yang kita harapkan, bahwa setiap undang undang akan selalu terkait dengan jiwa UUD 1945, khususnya juga Pancasila. Artinya apa? Bahwa sumber hukum yang kita ketahui adalah sumber hukum yang tetap mengacu kepada kajian-kajian. Kalau yang berkaitan dengan agama, tetap mengacu kepada kajian-kajian agama atau sumber hukum agama, berdasarkan pada sila pertama Pancasila,” ujar Kyai Noor.
Maka dari itu, terkait dengan Rancangan Undang Undang PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) ini ada beberapa pasal-pasal yang memang beririsan dengan pidana biasa, pidana umum, yaitu yang terkait dengan pelecehan seksual, eksploitasi seksual, yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrasepsi, kemudian pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan kemudian penyiksaan sosial.
Namun Kyai Noor menuturkan yang menarik adalah, bagaimana kita mendefinisikan itu semua. Definisi tentang pemaksaan perkawinan, definisi tentang pelecehan seksual, eksplorasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, dsb.
Dari situ juga kemudian undang-undang ini berisan dengan keluarga.
“Bagaimana kalau itu dikaitkan dengan hubungan antara suami istri, hubungan antara keluarga satu dengan keluarga yang lain. Persoalan yang berkembang secara sosiologis sekaligus secara yuridis berkaitan dengan pidana,” kata dia.
Dari segi sosiologis Kyai Noor mengatakan, jika hal ini berkaitan dengan bagaimana kehidupan umat beragama di Indonesia, secara filosofis juga berhubungan dengan bagaimana kehidupan umat beragama di Indonesia.
Kiai Noor menekankan bahwa Indonesia berpedoman pada Pancasila. Dengan demikian, Indonesia bukanlah negara yang berpaham sekuler, bukanlah negara berpaham agama, tetapi bukan pula liberal.
“Artinya apa yang kita lakukan tetap berdasar pada norma-norma sosiologis, norma-norma sosial, yang juga banyak berkaitan atau berdasarkan pada agama,” demikian Kiai Noor menekankan.
Dalam pandangan Kiai Noor, hal inilah yang akan menjadi persoalan yang cukup pelik kedepannya. Mengapa? karena perkembangan saat ini di Indonesia dan dunia telah terjadi sebuah pertarungan budaya.
Bagaimana saat ini antara peradaban satu dengan peradaban yang lain, antara nilai yang satu dengan nilai yang lain saling berbenturan.
“Nilai-nilai regular, nilai-nilai yang kita tahu agak sekuler kemudian bertabrakan dengan nilai-nilai timur yang kebetulan berdasarkan agama, yang kemudian nanti benturannya adalah benturan nilai yang bersifat keagamaan, benturan nilai bersifat sosial, kemudian juga yang terkait dengan benturan-benturan nilai yang bersifat yuridis, bersifat perundang-undangan,” jelas Kiai Noor.
Perkembangan-perkembangan semacam ini dikatakan Kyai Noor perlu diikuti bersama, sehingga pedoman MUI harus berprinsip menjadi perwakilan umat dan menjaga umat dari hal-hal yang secara sosiologis dan agamis itu menyimpang.
Jika tidak bisa berdasarkan pada agama, Kyai Noor menyarankan agar bisa berdasarkan nilai sosiologis yang merupakan nilai sosiologis yang agamis.
Ini yang dikatakan Kiai Noor agar bisa dipegangi bersama, sehingga sumber nilai, sumber apa yang akan dituangkan tidak lepas dari nilai sosiologi keagamaan, sosiologi masyarakat yang ada di Indonesia.
“Tidak boleh bebas begitu saja, termasuk dengan demikian maka undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual ini tidak boleh hanya bebas nilai atau paham. Nilai ini kan nilai universal, nilai HAM, sehingga kita pun harus mengembalikan bahwa ada suatu persoalan sosiologis terkait dengan hak asasi manusia yang ada di Indonesia itu sendiri,” ujar Kiai Noor.
Dari hal ini Kyai Noor berpendapat, MUI akan bisa melindungi umat dari pengaruh-pengaruh nilai yang liar dan mungkin sekuler, dan mungkin sempit serta radikal yang datang dari luar.
Nasihat Kiai Noor MUI harus betul-betul mempunyai satu prinsip yang senantiasa dijadikan pegangan. Ia mengingatkan jangan sampai berpihak pada ormas atau organisasi manapun.
Dengan demikian, Kiai Noor meyakini saat MUI mengeluarkan suara, maka hal itu adalah suara yang mewakili umat Islam untuk diberikan pada DPR.
“Kami berharap LSM, ataupun umat umat Islam tidak bertentangan dengan keputusan yang disampaikan MUI,” ujar Kiai Noor.
(Muhamad Saepudin/Angga)