JAKARTA– Mengajarkan pemuda untuk menguasai Hypno Writing menjadi salah satu peran media keagamaan untuk menjadi instrumen klarifikasi berita yang sangat penting di tengah banjirnya informasi.
Demikian disampaikan Ketua MUI bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia, KH Masduki Baidowi saat mengisi sesi Serasehan Jurnalis Lintas Agama, Rabu (14/7).
Acara yang diadakan oleh Komisi Infokom MUI yang bekerja sama dengan Leimena Institut itu bertema Peran Media Keagamaan dalam Harmonisasi Keberagaman.
Ulama yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menjelaskan bagaimana seharusnya menjaga harmoni keberagamaan dengan latar belakang dan budaya berbeda-beda.
Acara Saresahan Jurnalis Lintas Agama itu, kata Masduki merupakan bagian penting dari literasi keagamaan lintas budaya.
Mantan Anggota DPR RI 2004-2007 itu berharap, acara sarasehan yang menghadirkan pekerja informasi lintas agama dapat terus dilanjutkan.
“Dan maka bagaimana proyek peran media keagamaan sebagai media yang berfungsi untuk mengklarifikasi berita yang sangat penting dalam era banjir informasi? Banjir informasi kita alami sekarang, kalau dulu ketika saya jadi wartawan informasi begitu kurangnya dan orang butuh informasi,” demikian ulasan Masduki Baidlowi yang juga merupakan jurubicara Wakil Presiden Maruf Amin sejak tahun 2019 itu.
Analisa KH Masduki, imbas dari banjir informasi adalah dapat mengaburkan fakta dan opininya. Ia melihat, antara fakta dan opini tidak nampak terlihat secara jelas.
Perkembangan saat ini, semua instrumen media apapun bisa digunakan untuk mengirimkan pesan.
“Dan ini satu hal yang mengharuskan kita hati hati memilah berita itu. Karena fakta hilang, karena tenggelam oleh banjirnya opini. Fakta bergerak dalam deret hitung, sementara opini bergerak dalam deret ukur. Jadi tidak seimbang antara gerakan fakta dengan opini yang membanjiri kita semua,” ucap dia.
Mantan Wakil rakyat di Komisi Pendidikan (X) ini mengatakan, dalam situasi seperti saat ini menjadi sangat penting untuk kita agar berbicara mengenai media sosial. Mengingat, media sosial adalah alat strategis menebarkan informasi tentang agama.
“Alat itu kalau dalam konteks agama adalah tools atau medium yang sangat strategis. Agama apapun, bahkan sampai orang orang Arab mengatakan metodologi atau cara lebih penting dibanding materi materi apapun kalau caranya tidak tepat, maka dia tidak akan didengar. Tapi sebaliknya, materi yang sederhana, dengan cara yang efektif, dikomunikasikan dengan bagus, maka dia akan efektif menjadi senjata pamungkas yang bagus untuk melawan lawan-lawan yang bersaing didalam arena,” jelasnya.
Dalam konteks mengefektifkan alat sebagai media informasi tentang agama, saat ini tantangannya adalah massifnya hoaks yang luar biasa.
KH Masduki meminta massifnya hoax patut diwaspadai.
“Kalau kita berbicara didalam konteks media sosial saat ini pada umumnya. Kita menghadapi persoalan sebelum kata bias itu sebenarnya ada yang disebut dengan algoritma kurasi. Atau yang biasa kita dengar bagaimana gaung dalam ruang. Jadi kita saat ini berhadapan dengan persoalan itu gaung dalam ruangan di media sosial,” jelasnya.
Kata KH Masduki, Medsos adalah sebuah sistem algoritma.
Lebih lanjut dia mengulas bahwa jika Google punya suatu sistem dimana arahnya dari setiap orang jika mempunyai kecenderungan akan dipasok, sebaliknya kalau orang tersebut tidak memiliki kecenderungan maka tidak akan dipasok.
Kondisi itu mengarah pada suatu keadaan dimana orang itu punya kecenderungan untuk bersikap ekslusif dan ini sangat berbahaya.
Media sosial ini salah satu yang paling berbahaya itu adalah disini sebenarnya. Sebab, akan membina orang-orang tertentu yang sudah terkena bias itu tentu selalu dipasok dengan algoritma google.
Dampaknya adalah saat kita memiliki perspektif A maka akan terus dipasok untuk memperkuat perspektif A dan tidak diperkenalkan dalam perspektif yang lain.
Hal itulah, kata KH Masduki, yang disebut dengan gaung dalam sebuah ruang yang besar. Diantara semua yang berada di ruang itu saling mendengung. Dan ini terjadi pada kita saat ini.
“Akhirnya dalam ruang dengung itu timbul apa yang disebut dengan Bias Konfirmasi, Bias Blind Spot, dan Bias Bandwagon Effect. Ini semua adalah cara cara bagaimana sistem mesin google merekayasa sebuah sistem informasi agar memperkuat terhadap keyakinan-keyakinan, ideologi-ideologi, paham yang ada pada kelompok tertentu, dan untuk bisa berakibat menolak pada paham-paham yang lain,” ucap dia.
Lebih lanjut, jika berbicara media keagamaan, Ulama yang menyelesaikan Studi Sarjananya di Sastra Arab IAIN Sunan Ampel tahun 1983 ini KH Masduki berpandangan, justru letaknya ada pada masalah Bias ini, misalnya blind spot adalah ketidakmampuan seseorang untuk mendeteksi bias yang ada dalam pikiran dirinya.
“Misalnya saya sebagai orang di MUI punya kecenderungan segala yang ada di MUI sebagai sebuah kebenaran yang mutlak diluar MUI adalah hal yang meragukan dan itu disuport oleh sistem informasi terus menerus,” jelasnya.
Karena dalam konteks bias blind spot itu, orang yang tidak pernah teruji, dihadapkan dengan argumentasi di lapangan.
Mereka akan dihadapkan dengan argumentasi-argumentasi yang lebih rasional yang dipasok orang lain, karena sistem sistem ini tidak memberikan itu.
KH Masduki menyebut hal itu sebagai bahaya dari membangun keberagaman. Artinya saat membangun paham keagamaan, orang lain bisa berbeda dengan kita.
Kesadaran ini, ditekankan KH Masduki sangat penting jika kita berbicara persoalan bagaimana membangun keberagaman membangun lintas budaya dalam keagamaan.
Sebab, dalam analisa KH masduki, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan sistem informasi dalam Google adalah sebuah hal yang harus kita perhatikan. Mengingat saat ini sistem informasi yang berkembang sudah berbasis digital.
Terkait dengan Bandwagon effect, KH Masduki menjelaskan definisiya, orang yang punya kecenderungan untuk mengikuti apa yang terjadi kepada kebanyakan orang tanpa nilai kritis.
Fenomena ini, kata KH Masduki, harus dibangun bersama agar kedepan terbangun nilai kritis dalam menyikapi setiap informasi yang diterima.
“Saya berharap komisi Infokom di MUI bisa melanjutkan kerjasama ini dengan berbagai pihak termasuk dengan Leimina Institut, tujuan akhirnya agar media keagamaan bisa berfungsi mengkonfirmasi kebenaran dalam konteks era banjir informasi,” ujar dia lagi.
Dalam Sarasehan Jurnalis Lintas Agama itu, Ulama kelahiran Madura ini juga menyinggung maraknya penggunaan buzzer dan influencer.
Meski keduanya berbeda, KH Masduki melihat pelatihan pada para pemuda sangat penting diajarkan tentang Hypno Writing.
Dijelaskan KH Masduki, Hypno Writing adalah tulisan-tulisan yang berpengaruh pada pembaca.
KH Masduki menambahkan, dalam dunia Hypno Writing akan diajarkan bagaimana ekonomi kata, bagaimana menulis harus menggunakan kata dasar dan tidak menggunakan imbuhan.
“Ini saya kira dalam konteks perang melawan hoaks, melawan orang-orang yang menggunakan media sosial untuk menghancurkan paham keagamaan,” ujar dia diakhir materinya.
(Muhamad Saepudin/Angga)