JAKARTA— Dialog Kebangkitan Ekonomi Umat dengan tema “Pemberdayaan Peternakan Dalam Kawasan Industri Halal, yang digelar Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat (KPEU) MUI, Sabtu (29/5), menyimpulkan pentingnya berjamaah dalam bisnis industri sapi halal di Indonesia.
Tampil sebagai narasumber tunggal dalam kegiatan yang digelar daring itu, pendiri Sekolah Peternakan Rakyat, Prof Muladno, mengatakan sekitar 98 persen populasi sapi di Indonesia di kuasai peternak-peternak kecil, akan tetapi peternak dan produsen tercerai berai dan tidak terkonsolidasi.
Selain itu, kata dia, konsumen juga cenderung memikirkan diri sendiri, sehingga tidak terbangun semangat gotong royong antara produsen dan konsumen yang mengakibatkan efisiensi rendah dan produk tak berdaya saing. “Hanya delapan provinsi yang surplus sapi,” ungkap dia.
Muladno menjelaskan, jika dari daerah-daerah di Sabang sampai Merauke masih banyak yang berpotensi untuk bisa dikembangkan menjadi usaha ternak sapi, karena dari sekian banyak peternakan yang ada, hanya delapan provinsi saja yang surplus sapi. Dia berharap agar peternakan yang surplus sapi bisa ditambah lagi dengan daerah lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu solusinya adalah dengan industri halal ini.
Dia menyarankan, jika wilayah Jabotabek kekurangan daging, impornya jangan daging sapi, tapi sapi bakalan. Jika sapi bakalan diimpor, akan ada kegiatan ekonomi yaitu mulai dari mencari rumput, kotoran sapinya untuk pupuk, dan seterusnya. “Jika impor daging yang dilakukan, maka ini namanya konservatif,” ujar dia.
Dia menegaskan peluang-peluang itu semua harus diberikan pada ternak-ternak kecil, yang sekarang sedang tercerai berai.
Misalnya saja di Kediri, sudah dimulai pemotongan sapi dengan skala kecil. Di Bojonegoro juga sudah mulai berkembang, peternak dan produsen sudah mulai kompak. Peternak pun sudah mulai mengerti tentang efektivitas dan keuntungan. “Konsepnya berjamaah dalam bisnis, tidak sendiri sendiri lagi,” tutut dia.
Lebih lanjut Muladno juga membahas tentang apa yang harus disiapkan peternak, konsumen, produsen, dan birokrat. Peternak harus disiapkan, dikonsolidasikan, harus diorganisasi, misalnya bisa melalui Sekolah Peternakan Rakyat. Hal ini krema faktanya peternak kaya pengalaman beternak tapi lemah penguasaan iptek dan di sisi lain akademisi hanya kaya iptek tapi tidak bisa beternak, birokratnya punya kekuasaan dan anggaran tapi kebingungan menentukan sasaran yang tepat, akhirnya asal program jalan, akhirnya semuanya gagal, pebisnis punya dana tapi tidak mau bekerjasama dengan peternak.
“Keempatnya nya harus bekerjasama, pebisnis dan peternak harus bekerja sama sampai kiamat,” kata dia berkelakar. (Muhamad Saepudin/ Nashih)