JAKARTA— Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah bidang dalam komputer atau sains yg mencoba meniru kecerdasan yang dimiliki manusia secara khusus dan makhluk hidup secara umum, kemudian menginterpretasinya, lalu memberikan respons atau tindakan yang diperlukan.
AI memungkinkan mesin untuk belajar dari pengalaman, menyesuaikan input-input baru dan melaksanakan tugas seperti manusia.
Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi (KPK) Majelis Ulama Indonesia, KH Wahfiudin Sakam, menjelaskan hadirnya AI bisa melahirkan ancaman jika umat Muslim tidak segera tanggap dalam memahami dan mengadopsi AI kedalam dunia dakwah keislaman.
Ia menyampaikan, AI kedepan juga bisa digunakan sebagai sistem untuk menanamkan nilai-nilai pemurtadan, radikalisasi, dan terorisme.
“Pemurtadan tidak lagi dilakukan dengan sumbangan beasiswa, atau sembako seperti dulu, tapi kedepan dilakukan dengan cara memborbardir sentiment manusia. Di masa mendatang mereka menggunakan AI yang lebih terhormat dan cerdas,” ujarnya.
Hal ini ia ungkapkan dalam FGD yang digelar secara virtual oleh Komisi Dakwah MUI, Kamis (04/03) malam dengan tema “Kecerdasan Artifisial dan Dakwah Islam”.
Terdapat tiga narasumber yang kompeten dalam bidang AI dan dakwah yang mengisi kegiatan FGD tersebut.
Dalam FGD ini, Wahfiudin juga meyoroti Dubai sebagai negara pertama yang bisa meluncurkan AI mengenai fatwa berbasis aplikasi yang mana dalam IA tersebut terdapat 250 fatwa mengenai sholat, atau hal keagamaan lainnya.
Ia berharap ini bisa menjadi contoh bagi MUI agar menjadi pelopor dalam peluncuran sistem dakwah berbasis AI di Indonesia. Tak lain untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses fatwa, pendidikan keislaman, maupun keuangan syariah.
“Dengan menyelenggarakan Islamic Artificial Intelligence Summit 2021, MUI bisa untuk paling tidak mendata apa yang sudah kita miliki dan memikirkan apa yang bisa kita kembangkan kedepan dalam bidang dakwah atau keislaman lainnya,” ucap dia.
Pakar Artificial Intelligence ITB, Prof Dr Bambang Riyanto Trialksono, juga menjelaskan bahwa IA Fatwa milik Dubai disebut sebagai virtual IFTA. Sistem ini memudahkan masyarakat dalam mencari jawaban atas pertanyaan dalam ruang lingkup keagamaan, karena aksesnya yang mudah dan jawaban yang diminta dapat dimunculkan dalam waktu yang relatif singkat.
“Jadi pertanyaan bisa diajukan melalui telepon dan satu program komputer yang berbasis pada AI dan akan menjawab pertanyaan yg digunakan secara traktif dengan bahasa natural,” jelas dia. (Nurul/ Nashih)