JAKARTA — Indonesia disurvei sebagai negara paling dermawan di dunia. Bila terjadi bencana, cukup memberikan nomor rekening di televisi, milyaran dana terkumpul dengan mudah. Ini pula yang sekarang memicu menjamurnya social entrepeneur, salah satunya wakaf. Potensi wakaf diprediksi bahkan sampai 180 Triliun sementara zakat sampai 250 Triliun.
Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia Muhammad Anwar Bashori menyampaikan, dengan karakter masyarakat Indonesia yang dermawan itu, membuat potensi wakaf sangat besar. Masalahnya tinggal bagaimana mengelola/governance dana tersebut. Konsep wakaf memang tidak sefleksibel zakat maupun infaq.
“Kalau kita seorang waqif menyerahkan kepada nadzir, berarti kan ilmu risk management, ilmu pricing, ilmu asset structure harus pintar, karena nilai wakaf nanti tidak boleh turun,” kata dia dalam program Ngobrol Pintar (NGOPI) TV MUI, Rabu (19/08).
Dibandingkan Malaysia maupun negara-negara Timur Tengah, Indonesia memiliki tanah wakaf lebih luas. Namun pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut lebih sistematis. Terbukti dari adanya lembaga khusus pengelola wakaf seperti kementerian wakaf atau bahkan bank wakaf. Sementara di Indonesia, ujar Anwar, dengan kondisi seperti sekarang, maka lebih fokus kepada struktur produk terlebih dahulu.
“Kita mencoba tidak berbicara institusional dulu, namun berbicara mengenai struktur produk, seperti Cash Wakaf Linked Sukuk (CWLS), itu kan sebetulnya bagaimana menggerakkan dana wakaf, dikelola nadzir, namun returnya pasti,” katanya.
Dia mengatakan, bila dana wakaf saat ini dikelola untuk pertanian maupun private, sementara keahlian nadzir belum stabil, maka risikonya akan tinggi. Sambil menunggu kemampuan mengelola itu muncul, saat ini dana wakaf ditaruh di Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Pemerintah. Nilai wakaf maka akan semakin meningkat karena imbal hasil sukuk pasti karena dijamin pemerintah.
Menurutnya, ilmu wakaf sekarang ini dalam prakteknya masih agak sulit dilaksanakan. Pengelolaan wakaf masih dalam ilmu fiqih, sementara dalam prakteknya belum banyak. Padahal dengan potensinya yang besar, wakaf bisa digunakan untuk pembiayaan, termasuk mengembangkan perbankan syariah.
“Kalau misalnya nadzir menyimpan uangnya di bank syariah, itu akan memperbaiki stuktur dana di pihak ketiga. Itu nanti akan menjadi semakin kuat,” katanya.
Saat ini, Bank Indonesia, tutur dia, sedang memaksimalkan edukasi terkait wakaf ini. BI juga tengah mencari contoh-contoh konkret pengelolaan wakaf yang sukses di tengah masyarakat.
“Kami juga akan membuat gerakan sadar wakaf Indonesia, mulai guru, SMA, PNS, berapapun jumlahnya, diharapkan wakaf ini dikelola secara lebih maksimal oleh nadzir,” kata dia. (Azhar/Din)