Pangkal Pinang – Chairul Tanjung, pengusaha Muslim Indonesia menularkan semangat interpreneurship kepada para peserta Kongres Umat Islam Indonesia atau KUII VII di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, Kamis (28/02/2020) malam. Chaerul Tanjung atau CT menyampaikan materi “Strategi Perjuangan Umat Islam di Bidang Ekonomi” dalam Sidang Pleno ke-8 KUII VII.
Dalam paparannya CT menyampaikan, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia dengan populasi 260 juta jiwa. 88 persennya adalah umat Muslim. “Populasi kita mencakup 13 persen dari populasi Muslim dunia. Namun menurut majalah Forbes, dari 20 orang terkaya di Indonesia cuma satu yang Muslim,” ujar CT.
Satu orang Muslim yang masuk dalam 20 orang terkaya versi Forbes itu tidak lain adalah dirinya.
“Hadis Nabi menyatakan bahwa umat Islam nanti kalah meski jumlah mereka banyak. Jumlah banyak tidak ada gunanya jika seperti buih di lautan. Kita harus mengubah diri agar menjadi penguasa lautan,”kata Mantan Menko Perekonomian itu.
Dikatakannya, ada lima musuh bersama umat Islam. Pertama adalah kebodohan. “Masih hanyak umat kita bodoh, akibatnya kalah bersaing. Kunci pertama jika umat Islam ingin menguasai ekonomi, maka harus memerangi kebodohan,” ujarnya.
Kedua adalah kemiskinan. Ketiga adalah kesenjangan atau ketertinggalan. Keempat, ketidakpedulian dari umat yang berkuasa. Kelima, kemalasan. “Itulah yang harus diperangi agar tidak menjadi buih di lautan, tetapi penguasa lautan,” ujar CT.
Bagaimana bisa membalik keadaan itu? Menurut CT, umat Islam harus memulai dari aset terbesar yang dimiliki, yaitu jumlah yang besar. Jumlah Muslim Indonesia 230 juta, namun masih terkotak-kotak.
“Kalau kita tetap terfragmentasi, maka kita tidak akan bisa memperbaiki umat kita. Tidak ada kata lain kecuali kita bersatu. Tanpa bersatu, jangan harap kita besar,” ujarnya.
“Umat Islam harus membangun usaha dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah memperbanyak pengusaha Muslim di Indonesia,” tambahnya.
Saat ini, fasilitas teknologi informasi dapat membantu anak-anak muda Muslim untuk menggeluti dunia enterpreneurship. “Kita ditolong teknologi sehingga hambatan menjadi lebih mudah. Anak-anak muda bisa berdagang dengan medsos tanpa harus punya toko,” tambahnya.
“Entrepreneur adalah orang yang bisa membaca peluang dan kemudian menangkapnya. Sementara kalau hanya bisa membaca peluang saja maka namanya konsultan. Orang Indonesia ahli melihat tetapi tidak ahli menangkap,” kata CT sambil menceritakan pengalamannya berbisnis.
Prinsip entrepenurship adalah membeli masa depan dengan harga sekarang, bukan membeli masa lalu dengan harga sekarang. Orientasi entrepeneur adalah hasil akhir, bukan prosesnya.
Ditambahkan CT, pengusaha juga harus disiplin, detail, dan perfeksionis atau menuntut kesempurnaan dalam menjalankan usahanya.
“Entrepeneurship menciptakan nilai tambah, tidak memburu rente. Contoh, kopi saset di warung harganya 1.000 rupiah. Ketika dia masuk ke warung kopi menjadi 5.000 rupiah. Ketika menjadi kopi gaul menjadi 20.000 rupiah, dan ketika masuk coffe bean menjadi 50.000 rupiah,” tambahnya.
Menurutnya, ulama harus memfasilitasi dan memberikan pendampingan. “Jangan biarkan umat kita kalah dan tersia-sia. Kalau umat kita kalah-menang jumlah tapi kalah ekonomi, maka yang salah adalah ulamanya,” kata CT.
Pada sisi lain, pemerintah atau yang harus berani melakukan affirmative action (langkah khusus, red) untuk membantu para enterpreneur baru. Kebijakan ini bukan berarti memusuhi pengusaha yang sudah sukses dalam berbisnis. “Yang sudah maju, silahkan maju, namun yang kita dorong adalah bagaimana mendorong umat yang sedang di bawah ini untuk maju,” ujarnya. (Anam)