JAKARTA— Cendekiawan Muslim Prof Masykuri Abdillah menegaskan Muslim Indonesia lebih dari sekadar dikatakan toleran.
Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri dalam uji sahih materi Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) bidang Islam Wasathiyyah di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Rabu (5/2).
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memaparkan, umat Islam Indonesia tidak hanya menjalankan toleransi beragama, namun pada titik lebih tinggi yaitu kerukunan beragama.
Kerukunan, kata dia, derajatnya lebih tinggi dan lebih lengkap dibandingkan toleransi.
“Konsep kerukunan adalah konsep yang luar biasa, di dalamnya tidak hanya toleransi, namun juga peace and harmony,” kata Masykuri yang juga Staf Khusus Wakil Presiden ini.
Toleransi, kata dia, hanya pada level tidak mengganggu umat beragama lain. Namun kerukunan agama lebih dari itu atau kerap disebut sebagai toleransi positif. Kerukunan menjadikan satu kelompok beragama menjadi bekerjasama dan saling membantu dengan kelompok beragama lainnya, bukan malah saling mendiamkan dan membiarkan.
Menurut dia, banyak peneliti di luar negeri yang mengatakan Indonesia khususnya Muslimnya karena mayoritas, bertindak toleran. Sebabnya, hubungan antara Muslim dengan sesamanya maupun dengan non-Muslim berjalan toleran.
Kedua, kata dia, Indonesia sebagai negara yang komposisi penduduknya mayoritas beragama Islam ternyata bisa manerima konsep negara bangsa sebagai bentuk negara, bukan negara agama. Islam Indonesia juga dipandang toleran karena menerima modernitas.
“Dengan catatan modernitas itu tidak bertentangan dengan ajaran inti agama Islam,” katanya.
Dia melanjutkan, bukti toleransi Indonesia juga karena memiliki satu-satunya kementerian yang menampung semua agama di dalamnya.
Negara lain, ungkap dia, memiliki kementerian yang terkait dengan agama hanya menaungi agama mayoritas saja. Sementara agama minoritas meskipun diakui tidak bisa ditampung di dalamnya.
Dia menjelaskan bahwa negara-negara di Semenanjung Scandinavia bahkan menggunakan agama tertentu sebagai dasar negara. Perayaan hari-hari libur nasional yang merujuk hari besar agama juga menunjukkan toleransi khas Indonesia.
“Satu-satunya negara di Eropa yang tidak memasukkan agama sebagai dasar negara hanya Prancis,” katanya. (Azhar/Nashih)