JAKARTA — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menutup rangkaian Rakornas Bidang Infokom MUI se-Indonesia yang sudah berlangsung selama tiga hari sejak Senin (15/07). Pada kesempatan tersebut, Menag kembali mengusulkan pentingnya moderasi beragama. Menag menilai langkah ini teramat penting terutama untuk merespon perkembangan dunia yang semakin cepat dan berubah.
Menag mengatakan, moderasi beragama berbeda dengan moderasi agama. Selama ini, kata dia, banyak orang salah kaprah menganggap moderasi beragama sebagai moderasi agama. Padahal, dua hal itu menurutnya adalah dua hal yang berbeda. Moderasi beragama, papar dia, adalah bagaimana memoderasi cara menjalankan atau mengamalkan agama.
“Islam datang dari dzat Yang Maha Segala dan pasti sempurna ajarannya itu, tapi cara kita memahami agama, cara kita berislam, memahami ajaran Islam, mengamalkannya, ini yang boleh jadi kita bisa tergelincir atau bahkan terjerumus pada pengamalan yang berlebihan tadi itu yang tatarruf tadi itu,” paparnya di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Rabu (17/07).
“Jadi bukan agamanya yang kita moderasi, tapi cara kita beragama itu yang harus kita jaga jalurnya pada jalur yang tidak berlebih-lebihan,” imbuhnya.
Menurut Menag, moderasi beragama ini penting karena dinamika kehidupan terus berubah sangat tinggi bahkan dari hari ke hari masalah kehidupan semakin kompleks. Dia mencontohkan, Tuhan tidak lagi menciptakan lahan dan hutan dan jumlah tanah semakin menyusut dari waktu ke waktu. Sementara itu, jumlah manusia terus bertambah. Sehingga, ungkapnya, dengan hanya mempertimbangkan variabel yang sangat sederhana ini saja, manusia akan menjalani kompetisi hidup yang luar biasa yang artinya ada perubahan.
“Sehingga cara manusia memahami agama terus mengalami perubahan,” kata dia.
Kementerian Agama sendiri, tutur Menag, saat ini sedang melaksanakan moderasi agama, misal, dalam hal perubahan terjemahan al-Quran. Dia menceritakan bahwa terjemahan al-Quran pertama kali muncul pada tahun 1965. Terjemahan itu kemudian mengalami revisi selama dua kali yakni pada periode 1989/1990 dan 1998/2002. Tahun ini, kata dia, terjemahan al-Quran akan mengalami revisi ketiga. Menag memandang revisi terjemahan itu perlu karena cara pandang manusia dalam menerjemahkan teks tersebut juga berkembang.
“Yang tidak berubah itu Alqurannya, itu tidak berubah, tapi tafsiran terhadap ayat-ayat suci itu yang berubah karena (terjemahan/tafsiran) itu buatan manusia. Ini yang harus senantiasa dimoderasi karena satu-satunya rujukan untuk mehamai nilai Islam hanya berdasarkan teks saja untuk era ini, karena kitab suci kita terdiri dari teks dan karena kita tidak lagi hidup sezaman dengan rasulullah, maka tindakan beliau pun kita ketahui hanya dari teks saja,” katanya. (Azhar/Din)