BANDUNG – Hukum asal dari semua praktik mu’amalat yang berkaitan dengan transaksi ekonomi adalah mubah atau boleh, kecuali jika mengandung unsur-unsur yang dilarang. Demikian juga transaksi dengan uang elektronik diperbolehkan dalam Islam asal terhindar dari tujuh hal.
Demikian disampaikan H Aminuddin Ya’kub dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dalam Lokakarya Qadhaya Fiqhiyyah Muashirah yang bertema “Transaksi ekonomi Syariah Sebagai Solusi Era Baru”.
Kegiatan diselenggarakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Hotel Bandung, Kamis (30/8/2018).
Tujuh hal yang dilarang tersebut adalah transaksi yang mengandung unsur ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, dan israf, dan transaksi atas objek yang haram atau maksiat.
Pertama, riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak.
Kedua, gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya.
Ketiga, maysir adalah setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi, atau untung-untungan
Keempat, tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat.
Kelima, risywah adalah suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang batil dan menjadikan sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang benar.
Keenam, israf adalah pengeluaran harta yang berlebihan .
Ketujuh, transaksi yang dilarang berkaitan dengan jenis
transaksi itu sendiri karena objeknya berupa hal-hal yang haram atau maksiat.
Menurut Aminuddin Ya’kub, ketentuan tersebut sudah dituangkan dalam fatwa DSN-MUI NO: 116/DSN-MUI/IX/20I7 Tentang Uang Elektronik Syariah. Uang elektronik syariah adalah uang elektronik yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
“Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi’ah atau akad qardh,” jelas Aminuddin.
Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadi’ah, sesuai dengan fatwa tersebut, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadi’ah sebagai bahwa jumlah nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja.
Berikutnya, jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu.
Dalam hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadiah) berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.
Mengenai biaya-biaya yang akan dikenakan, penerbit dapat mengenakan biaya layanan fasilitas uang elektronik kepada pemegang dengan ketentuan biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang elektronik.
Pengenaan biaya-biaya layanan fasilitas harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lokakarya yang membahas uang elektronik syariah tersebut dihadiri 50 peserta dari unsur penyelenggara syariah dan penyuluh dari beberapa kabupaten/kota di Jabodetabek, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. (Anam)