JAKARTA — Jurnalis Islam Bersatu (Jitu) mendatangi Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Pusat, Selasa 14 Februari 2017. Kunjungan tersebut merupakan agenda pertemuan tiga bulanan yang digagas Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI dengan jurnalis Muslim.
Dari pihak MUI, Masduki Baidlowi, Usman Yatim, serta Hidayati mewakili Komisi Infokom MUI menyambut kunjungan tersebut.
Dalam kunjungan kali ini, JITU mengungkapkan kegundahannya terkait peraturan barcode media yang belakangan ramai diperbincangkan.
“Kami mencatat bahwa barcode ini positif saja. Ada pengawasan pada konten media massa. Ternyata ini tujuannya bukan sekedar itu. Ada hal yang kita sangat khawatir terhadap itu. Pemblokiran itu sampai lima kali terhadap media Islam,” ungkap Anggota Dewan Syuro Jitu, Mahladi Murni.
Mahladi sebagai juru bicara Jitu mengeluhkan, proses pembredelan media Islam terasa tidak adil. Jitu merasa tidak ada standard yang jelas dan terbuka dari pemerintah atau pengawas media tentang pelanggaran yang mereka lakukan.
Sebelumnya, terkait pembredelan media lalu, Jitu sudah melaporkan kepada Dewan Pers. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi.
Untuk itu, dalam kunjungan ini, Jitu meminta MUI untuk memberikan masukan mengenai pembredelan tersebut.
Perwakilan Jitu, Fadhil menambahkan bahwa ada sebuah konstruksi berpikir yang dibangun bahwa media Islam selalu salah sedangkan media mainstream selalu benar. “Ini harus dipertanyakan,” katanya.
Laporan Jitu tersebut ditanggapi Usman Yatim sebagai anggota MUI dan PWI. Terkait Dewan Pers, Usman menjelaskan bahwa media Islam yang selama ini muncul belum jelas posisinya.
“Persoalannya, media Islam itu mainstream atau tidak. Karena hanya dianggap medsos, maka Dewan Pers tidak punya kepentingan untuk itu,” kata Usman.
Selain Usman, Thobib Al Asyhar dari Infokom MUI juga mengingatkan perlu ada pendataan media-media Islam agar jelas media mana saja yang layak diperjuangkan.
“Kita mendata dulu. Kemudian ketika ada organisasi lain selain Jitu, kita undang juga, kita data. Organisasi itu harus pasti. Kantor, pemilik, alamat. Kalau tidak ada standard itu, bukan siapa-siapa,” ujarnya.
Thobib menambahkan, “Anggota Jitu ada berapa kemudian dibuat sistem pembinaan dari MUI atau Kemenag. Setidaknya kalau ada peningkatan kapasitas dengan melakukan workshop jurnalistik. Itu malah bagus.” (Azhar/Din)