DEPOK– Istitha’ah atau kemampuan melaksanakan ibadah haji adalah syarat utama pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut. Perumusan istitha’ah menjadi fokus penting Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Ketua Bidang Fatwa MUI, Prof Huzaemah T Yanggo, mengungkapkan istithaah berhaji terbagi dua, pertama adalah istithaah berupa bekal biaya baik selama berada di tanah suci atau bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Termasuk istitha’ah juga adalah kemampuan fisik yang di dalamnya mencakup kesehatan.
Huzaimah menjelaskan, pembagian tersebut dalam Kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah az-Zuhaili. Menurut Syekh Wahbah, istithaah terbagi dua, yaktu kemampuan biaya dan ar-rohilah meliputi kemampuan kesehatan yang juga sangat penting dalam melaksanakan haji.
“Jika jamaah haji tidak memiliki kemampuan dalam segi kesehatan bagaimana bisa melaksanakan manasik dengan sempurna,” tutur dia dalam Focus Grup Discussiun tentang Istithaah Kesehatan Haji, The Margi Hotel, Depok, Sabtu (28/4).
Lebih lanjut Prof Huzaemah mengatakan, dalam kondisi sakit biasa yang bisa diobati atau penyakit menahun yang menyebabkan tidak bisa berangkat atau terhalang melaksanakan rukun dan wajib haji, orang tersebut bisa dibadalhajikan. Mereka yang tua renta dan terkendala melempar jamarat misalnya, boleh membadalkan pelemparan jumlah tersebut ke jamaah lain. “Tapi yang mewakili harus terlebih dahulu menunaikan lempar jumrah untuk dirinya sendiri,” kata Huzaemah yang juga Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta itu.
Sementara itu Kepala Pusat (Kapus) Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, dr Eka Jusup Singka, pembahasan istithaah dalam perspektif agama dan kesehatan akan mendukung kemabruran haji. Istithaah kesehatan untuk jamaah haji sangat penting dan mendasar. Selain sangat bermanfaat dalam menjalankan haji, juga bisa mendukung kemabruran karena ibadah bisa dilakukan dengan baik.
Lebih lanjut, kata dr Eka, pelaksanaan haji mulai tahun ini hingga 5 sampai 10 tahun mendatang masuk dalam musim panas dengan suhu sekitar 500 C hingga 530 C di saat wuquf di Padang Arafah. Kondisi ini dapat menimbulkan beberapa efek bagi kesehatan jamaah haji. “Efek panas bisa berakibat tekananan darah naik, gula darah naik, dehidrasi, dan stres, “ kata dr Eka.
Sebagai langkah preventif, ungkap dia, Kemenkes mengeluarkan Permenkes No 15 Tahun 2016, didukung dengan surat edara PHU Kementerian Agama Tahun 2018. Dia meyakini peraturan tersebut akan semakin legitimatif dengan keberadaan fatwa istithaah MUI yang kini sedang dalam tahapan perumusan.
Dr Eka menyebutkan data 2017 lalu, ada lebih dari 600 jamaah haji wafat dan sekitar 4000 orang dirawat selama musim haji. Sebanyak 66 orang terpaksa tertinggal di Saudi saat itu. Total 104 jamaah yang disafariwuqufkan. Sementara 135 jamaah sakit parah beserta 146 jamaah haji yang meninggal dibadalhajikan. “Tahun 2017 sudah kita tetapkan kriteria yang berhak ikut menjalani safari wukuf, salah satunya adalah kesadaran jamaah haji. Jika kesadaran jamaah haji tidak baik saat waktu wuquf, tidak disafariwuqufkan, akan tetapi diusulkan badalkanhaji.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, FGD ini merupakan rangkaian Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang akan digelar awal Mei di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. FGD membahas antara lain, istithaah kesehatan haji dan kewenangan ulil amri menetapkan kategori istithaah atau tidak istithaah atas calon jamaah haji berdasarkan syariat dan medis, safari wuquf arafah, badal melontar jumrah, dan sebagainya.
Berikut beberapa draft rumusan istithaah yang disusun MUI dan Kementerian Kesehatan:
A: Lontar Jumrah
1. Syarat orang yang boleh mewakili melontar jumrah adalah :
a. Muslim akil baligh
b. Mewakili kemampuan untuk mewakili
2. Orang yang bisa mewakili melontar jumrah bisa dikategorikan menjadi dua:
a. Orang yang sadang melaksanakan haji, boleh mewakili dengan syarat sudah melontar jumrah untuk dirinya sendiri
b. Orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji, boleh mewakili melontar jumrah.
Alternatif:
Orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji, boleh mewakili melontar jumrah dengan syarat sudah pernah melaksanakan ibadah haji.
B. Udzur Syar’i
1. Udzur Syar`i yang menyebabkan hajinya dibadalkan (inabatil ghair) adalah orang yang ma`dhub, yaitu:
a. Orang yang mempunyai kemampuan finansial kemudian meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji
b. Tua renta.
c. Lemah kondisi fisik terus menerus akibat penyakit menahun.
d. Penyakit berat yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
e. Terhalang untuk berpergian secara terus menerus.
2. Apabila seseorang memiliki uzur sebagaimana dimaksud pada angka empat tidak mempunyai kemampuan finansial untuk badal haji, maka dia tidak istithaah
3. Seseorang yang sudah memenuhi kriteria istitha`ah ibadah haji, bisa ditunda pelaksanaannya jika :
a. Menderita penyakit tertentu yang berbahaya tetapi berpeluang sembuh.
b. Hamil yang kondisinya bisa membahayakan diri dan atau janinnya.
c. Menderita penyakit menular yang berbahaya.
d. Terhalang untuk berpergian untuk sementara
4. Ulil amri mempunyai kewenangan menetapkan kategori istithaah atau tidak istithaah atas calon jamaah haji berdasarkan pertimbangan syar’i dan pandangan medis. (Ichwan/Nashih)