Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Zainut Tauhid Sa’adi meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) berkonsultasi dengan MUI dan ormas keagamaan lain terlebih dahulu terkait rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang antara lain memuat ketentuan mengenau pencegaan perkawinan anak. MUI berharap ada pertimbangan agama, selain pertimbangan sosial, ekonomi, maupun kesehatan.
“Karena pernikahan itu bagian dari perintah agama sehingga sah dan tidaknya sebuah perkawinan harus juga didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama,” ungkap Buya Zainut Tauhid, Ahad (22/04).
“Masalah perkawinan tidak hanya sekadar didasarkan pada pertimbangan sosial, ekonomi dan kesehatan semata tetapi juga harus mempertimbangkan aspek agama, ” imbuhnya.
Menurut Buya Zainut, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan punya ikatan emosional yang kuat bagi umat Islam di Indonesia. Sekalipun Orde Baru begitu represif dengan Islam, namun isi UU tersebut ternyata sejalan dengan aspirasi muslim di Indonesia dan tidak berseberangan dengan syariat Islam.
“Karena UU tersebut hakikatnya merupakan implementasi dari pelaksanaan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD tahun 1945,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Yohana Yambise di Bogor, Sabtu (21/04) mengatakan sudah berbicara dengan Presiden Joko Widodo terkait rencana penerbitan Perppu tersebut. Isi UU tentang batas perkawinan anak menjadi sorotan karena publik dihebohkan dengan kejadian dua remaja SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berkeinginan menikah di hadapan penghulu. Pasal 7 ayat (1) UU tersebut berisi bahwa perkawinan diperbolehkan bila pria mencapai umur 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Meski sempat ditolak penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) di sana, dua remaja tersebut akhirnya diizinkan menikah berkat dispensasi pengadilan agama. (Azhar/Anam)