Jakarta – Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH-SDA) Majelis Ulama Indonesia, Badan Restorasi Gambut RI (BRG) dan Kementerian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan siapkan pelatihan da`i peduli lingkungan untuk pengelolaan lahan gambut dengan tepat sebagai implementasi fatwa MUI no. 30 Tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan Dan Lahan Serta Pengendaliannya.
Kesadaran untuk peduli terhadap lahan gambut sangat dibutuhkan, karena menurut Fachruddin M Mangunjaya, saat ini masyarakat butuh pemahaman yang baik dan solusi dalam pengelolaan lahan gambut menjadi lahan produktif yang biasanya dengan dibakar.
“Untuk beralih dari membakar lahan gambut harus ada usaha serius, jika perusahaan punya traktor, masyarakat kan belum punya, ” tegas Wakil Ketua LPLH-SDA MUI saat pembukaan Focus Group Discussion (FGD) Kamis (29/3) di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat, Menteng, Jakarta Pusat.
Mewakili Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Suprayitno menerangkan solusi Pengelolaan Lahan Tanpa memBakar (PLTB) yang terbagi dalam tiga proses, yaitu : rehabilitasi / restorasi, penerapan sistem agroforesty, dan pemanfaatan secara ekonomi bahan gambut (gulma).
Dalam tahapan pertama, lahan gambut direstorasi untuk persiapan sistem agroforesty yang merupakan penggunaan lahan bersamaan untuk tanaman hutan dan tanaman pertanian, sedangkan sisa dari lahan gambut (gulma) akan diolah menjadi biomassa untuk bahan bakar dalam kebutuhan rumah tangga.
Dengan sistem agroforesty, Menurut, Supriyatno, tanah berlahan gambut bisa mempertahankan air lebih banyak dengan adanya tanaman kehutanan yang dibutuhkan tanaman pertanian.
“Karena lahan gambut ngga boleh kering, tanaman kehutanan bisa ditanam untuk mempertahankan kadar air yang dibutuhkan tanaman pertanian, ” kata Supriyatno.
Tahun 1997, tambah Supriyatno, hampir semua hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan terbakar karena ada masyarakat yang ingin membuka lahan gambut dengan membakar, sehingga pihaknya merasa perlu merubah mindset masyarakat dalam pembukaan lahan.
Lebih lanjut, Muhammad Yusuf, Tim Ahil Badan Restorasi Gambut RI membenarkan budaya masyarakat yang melakukan pembukaan lahan pertanian dengan proses pembakaran dan jika dibiarkan sangat berbahaya.
Pihaknya mengatakan, lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera ada yang kedalamannya sekitar delapan meter, tidak sama dengan di Pulau Jawa yang hanya sekitar satu sampai dua meter, dan kondisi saat ini lahan gambut tersebut sudah mulai kering karena ada kanal yang menguras air di lahan gambut yang umumnya berupa rawa tersebut.
“Lahan gambut itu tidak boleh kering, jika kering bara rokok saja bisa menyebabkan kebakaran, apalagi jika sengajar dibakar, “ tegas Yusuf.
Luas tanah petani di Kalimantan dan Sumatera, kata Yusuf, tidak sama dengan di Jawa, jika petani di Pulau Jawa rata-rata hanya memiliki 0.25 Ha sampai 1 Ha, disana lebih dari 10 Ha yang menjadikan masyarakat menggunakan cara pembakaran lahan untuk kepentingan pertanian.
BRG RI, tambah Yusuf, sudah membuat target 500 desa untuk mensosialsiasikan pengelolaan lahan gambut, “100 desa setiap tahun hingga 2020” katanya.
Namun demikian pihaknya mengharapkan peran para ulama, yang dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia bisa ikut melakukan sosialisasi dengan argumentasi yang mudah difahami warga.
Rencananya, pelatihan dai lingungan hidup oleh LPLH-SDA MUI, KLHK, dan BRG akan dilaksanakan di dua tempat pada akhir April di Provinsi Kalimantan Selatan dan awal Mei 2018 di Provinsi Riau. (Ichwan/Thobib)