Dalam memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW., alias Maulid Nabi, yaitu pada 12 Rabiul Awal, ada banyak amalan yang dapat dilakukan. Misalnya membaca shalawat, berpuasa, bersedekah, dan membaca sirah nabawiyah (sejarah kehidupan Nabi) melalui hadis-hadisnya untuk dijadikan teladan dan pembelajaran.
Di antara teladan Rasulullah yaitu adil dalam menegakkan hukum. Sebab selain sebagai penyampai risalah Tuhan, Nabi Muhammad Saw juga berperan sebagai khalifah atau pemimpin politik dan sebagai qadhi (hakim). Dalam perannya sebagai seorang hakim, Rasulullah tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum.
Keadilan dan ketegasan Rasulullah tampak jelas dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah ra.
Suatu ketika di masa Rasulullah Saw, tepatnya pada peristiwa Fathu Makkah (penaklukan Kota Makkah), ada seorang wanita Quraisy yang mencuri. Ia adalah wanita bangsawan dari Bani Makhzum. Masalah ini membuat heboh kaumnya. Mereka tahu Rasulullah akan berbuat adil dalam menegakkan hukum atasnya. Mereka khawatir Rasulullah akan memotong tangan wanita Quraisy tersebut.
“Siapa yang berani mengomunikasikannya kepada Rasulullah Saw.?” Tanya mereka satu sama lain. Mereka pun sudah tahu jawabannya, “Siapa lagi kalau bukan Usamah bin Zaid, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.”
Akhirnya mereka meminta Usamah untuk melobi Rasulullah Saw. Usamah pun mengomunikasikan hal itu kepada Rasulullah untuk meminta keringanan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan.
Tiba-tiba wajah Rasulullah Saw berubah menjadi merah (karena marah) seraya bersabda,
“Apakah kamu hendak meminta syafaat (keringanan) untuk menghindari suatu hukuman hudud (yang telah ditetapkan) Allah?!”
Maka Usamah berkata kepada Nabi, “Mohonkanlah ampunan bagiku wahai Rasulullah.”
Tidak Adil dalam Hukum Penyebab Kebinasaan
Sore harinya Rasulullah Saw berdiri dan berkhutbah,
“Para hadirin sekalian! Sungguh, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang terpandang (pejabat, penguasa, atau elit masyarakat) dari mereka mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Akhirnya Rasulullah menegakkan hukum atas wanita yang mencuri itu sebagaimana mestinya. Sehingga dipotonglah tangannya. Aisyah berkisah bahwa setelah peristiwa itu, wanita tersebut melakukan taubat nasuha dan menikah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah di atas menggambarkan betapa hukum itu tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Karena semua manusia sama di hadapan hukum. Baik itu sekelas pejabat dan penguasa maupun rakyat biasa. Bahkan keluarga yang paling dekat dan dicintai Rasulullah pun, sayyidah Fatimah, seandainya mencuri maka tidak ada jaminan untuk lolos dari hukuman.
Lagi-lagi Rasulullah merupakan suri teladan terbaik dalam segala hal. Baik perannya sebagai pembawa risalah, khalifah yang adil, hakim yang tegas dan bijaksana, hingga suami yang ideal dan pengertian. Dalam perkara hukum, Rasulullah bersikap tegas menjalankan perintah Allah Swt. dan tidak pandang bulu dalam menjatuhkan hukuman.
(Shafira Amalia/Angga)