Oleh DR Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI
Suatu waktu, ada dua orang yang bertransaksi jual beli sebidang tanah. Setelah transaksi, si pembeli mendapati sebuah bejana emas di tanah yang dibelinya. Setelah tahu ada bejana (wadah berbentuk tabung) yang terbuat dari emas itu, baik pembeli dan penjual tidak ada yang bersengketa terkait siapa pemilik bejana emas itu.
Biasanya, jika ada barang berharga, orang-orang akan berupaya saling klaim “ini punya saya!”, “ini berada di tanah saya” dan seterusnya. Tapi ini beda banget. Si pembeli merasa, “saya hanya beli tanah, bukan berikut bejana”, dan si penjual juga merasa, “saya hanya menjual tanah yang itu milik saya, selebihnya bejana itu bukan milik saya.”
Kecintaan manusia pada harta kekayaan diabadikan Allah SWT dalam Alquran, sebagai berikut:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14)
Karena masing-masing pihak tidak ada yang mau mengambil bejana emas itu, akhirnya mereka membawa ke pengadilan. Sebelum hakim memutuskan siapa pemilik bejana itu, sang hakim kemudian bertanya, “Apakah kalian memiliki anak?” Satu orang bilang, “Saya punya anak laki-laki,” dan satunya lagi bilang, “Saya punya anak perempuan.”
Akhirnya, sang hakim memutuskan agar kedua anak itu dinikahkan dan biaya pernikahannya dibiayai dari harta yang mereka perselisihkan kepemilikannya. Sang hakim seakan-akan ingin menyatukan dua keluarga saleh yang sama-sama tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Akhirnya, kedua anak itu pun menikah, dan pembeli dan penjual tanah itu akhirnya menjadi satu keluarga.
“Pernikahan di antara orang-orang baik akan memperkuat tali keimanan di antara orang-orang baik dan meneguhkan hubungan di antara orang saleh,” komentar Dr Umar Sulaiman Al Asyqar.
Kisah ini asalnya dari hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Maknanya sangat dalam, bahwa dalam setiap zaman aja saja orang-orang saleh yang takwa dan tidak mementingkan harta. Mereka tidak berebut harta, apalagi harta dan makanan yang diragukan kehalalannya. Mereka betul-betul ingin jaga diri dari segala yang haram.
Saat ini, kita hidup dalam dunia yang diperebutkan. Orang-orang memperebutkan harta, kedudukan, dan juga nama baik. Demi itu semua orang-orang rela saling sikut demi untuk kekuasaan. Bejana emas dalam cerita di atas adalah ibarat dari sesuatu yang disukai manusia. Siapa sih yang tidak suka emas? Umumnya orang suka. Akan tetapi, apakah emas itu halal atau haram? Itu yang dipikirkan oleh kedua orang saleh di atas.
Sebab ada keyakinan bahwa harta yang haram jika masuk ke tubuh itu akan berdampak pada karakter. Makanya orang tertentu itu menjaga banget dirinya dari harta yang haram. Mereka takut mendapatkan sesuatu–entah banyak atau sedikit–dari sesuatu yang tidak benar. Apalagi jika sesuatu itu dibawa pulang ke rumah. Kedua orang tadi benar-benar ingin memastikan agar yang halal saja yang jadi konsumsi mereka.
Cerita di atas sudah berlalu lama sekali dalam sejarah kita. Tapi, cerita baik itu masih diabadikan sampai ke kita sekarang. Itu adalah tanda bahwa orang baik itu ada pada tiap zaman. Kita yang baca cerita ini juga pastinya sangat berharap semoga menjadi bagian dari orang baik tersebut. Depok, 3 Agustus 2022
Taging: hikmah, halal haram harta, pentingnya harta halal, cinta harta, ali imran ayat 14, cinta dunia, kecintaan pada harta