JAKARTA, MUI.OR.ID–Wakil Ketua MPR RI H. Yandri Susanto mengajak para dai Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mensyiarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pernikahan Beda Agama.
Yandri mengatakan, ajakan tersebut dikarenakan ada pihak-pihak liberal bahkan berkedok tokoh agama yang melakukan pembenaran dengan menyebut bahwa pernikahan beda agama boleh dilakukan.
“Dan perlawanan untuk mencabut SEMA ini sampai hari ini masih dilakukan. Mereka melakukan konsolidasi. Masa kita yang punya kebenaran tidak mau melakukan konsolidasi,” ujarnya di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2023).
Menurutnya, pihak yang benar untuk melakukan penolakan terhadap pernikahan beda agama tidak boleh sampai kalah dengan pihak-pihak yang melakukan pembenaran untuk membolehkan pernikahan beda agama.
Salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan melakukan konsolidasi yang sistematis dan terukur serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang anarkis dan sesuai prosedural.
“Saya berharap MUI sebagai yang terdepan. Saya usul di Mudzakarah ini kalau bisa MUI membuat surat edaran kepada dai supaya materi khutnah menyampaikan SEMA,” ungkapnya.
Sehingga, kata Yandri, SEMA tersebut bisa sampai kepada masyarakat yang ada di berbagai daerah. Dengan demikian, SEMA tersebut juga tidak seperti menara gading.
Yandri menuturkan, masyarakat saat ini lebih suka melihat Youtube yang bersifat duniawi dibandingkan dengan SEMA. “Sekarang Pancasila aja banyak yang enggak hafal, apalagi Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), ini PR (pekerjaan rumah) kita,” jelasnya.
Yandri berharap, pesan SEMA yang disampaikan oleh para dai di MUI juga menjadi pintu masuk konsolidasi antar umat beragama dalam menyikapi persoalan pernikahan beda agama. Karena persoalan ini bukan hanya meresahkan umat Islam, tapi juga umat beragama lain.
Yandri menyoroti sebagian masyarakat saat ini yang menanggap bahwa pernikahan beda agama itu bagian dari hidup. Bahkan, LGBT pun dianggap sebagai bagian dari gaya hidup.
Politisi PAN ini menegaskan bahwa hal tersebut merupakan kesesatan yang sengaja dilakukan. Ia mendorong agar sosialisasi SEMA juga dilakukan secara masif.
Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua MPR juga menawarkan kepada MUI untuk melakukan sosialisasi SEMA ini dengan lebih besar karena mengundang peserta yang banyak.
Ia pun menyatakan siap memfasilitasi kegiatan tersebut di Gedung DPR/MPR. Alasannya, agar sosialisasi ini bisa lebih terasa gaungnya dan efeknya.
Yandri khawatir, apabila hal ini tidak dianggap serius untuk diantisipasi. Ke depan masyarakat Indonesia akan melihat pernikahan beda agama yang sesat ini sebagai hal yang lumrah.
Oleh karena itu, untuk menjangkau sosialisasi ini, Yandri berharap agar para dai MUI yang tersebar di seluruh Indonesia bisa menyampaikan SEMA ini secara masif untuk menolak pernikahan beda agama.
“Artinya saya usul di Mudzakarah ini perlu dibuat tata cara agar selembar kertas dari Mahkamah Agung itu benar-benar bermakna untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya tentang pernikahan,” ujarnya.
Meski sudah ada SEMA, menurutnya, tapi tetap saja masih ada celah untuk bisa menetapkan pernikahan beda agama melalui pengadilan. Untuk menutup celah tersebut, Yandri mendorong agar diadakannya Judicial Review di Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 khususnya Pasal 34 dan Pasal 35 tentang Administrasi Kependudukan.
Menurut Yandri, undang-undang tersebut lah yang menjadi celah agar orang-orang bisa melakukan pernikahan beda agama dan melakukan perlindungan kepada negara.
“Tapi kalau undang-undang itu di JR dan semua meyakinkan MK bahwa pasal ini layak dicabut karena bertentangan dengan undang-undang perkawinan, kalau itu dikabulkan, tanpa surat edaran, pengadilan juga sudah tidak punya hak,” tegasnya dalam kegiatan Mudzakarah Hukum Islam dan Hukum Nasional.
Kegiatan ini digelar oleh Komisi Hukum dan HAM MUI bertajuk: Pernikahan Beda Agama dan Implikasinya Pasca SEMA No.2 Tahun 2023.
Hadir dalam kegiatan ini di antaranya Wakil Menteri Agama H. Saiful Rahmat Dasuki, Ketua MUI Bidang Hukum dan HAM MUI Prof Noor Achmad, Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh, dan Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Prof Deding Ishak.
(Sadam/Angga)