JAKARTA, MUI.OR.ID – Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (BPH DSN) Prof Amin Suma mengatakan bahwa fatwa MUI mempunyai daya terima yang lebih tinggi di kalangan umat Islam Indonesia dibandingkan dengan fatwa yang ditetapkan oleh ormas Islam lainnya. Hal ini karena ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa MUI merupakan ulama yang berasal dari hampir semua komponen umat Islam.
“Selama ini fatwa-fatwa yang diterbitkannya diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Muslim Indonesia. Terutama pada saat perundang-undangan negara belum mengatur pada persoalan itu, misalnya ekonomi syariah,” ujarnya saat diwawancarai MUIDigital di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Menurut Prof Amin Suma, pilihan kewenangan fatwa berada di MUI setidaknya didasarkan atas 3 (tiga) alasan utama, pertama, bank syari’ah atau lembaga keuangan syariah (LKS) masih membutuhkan dukungan masyarakat Muslim. Kedua, bank syari’ah/LKS masih harus berjuang keras untuk berkompetisi dengan bank/keuangan konvensional. Ketiga, bank syariah/LKS masih sangat membutuhkan dukungan politis baik dari legislatif maupun eksekutif. Dalam konteks ini peran MUI sangat strategis sebagai lembaga yang dapat menjembatani kepentingan di atas baik hubungan antara bank syari’ah/LKS dengan masyarakat Muslim maupun dengan lembaga legislatif dan eksekutif.
MUI, kata dia, dalam hal mengeluarkan fatwa terkait dengan ekonomi syariah ini juga bekerja sama dengan berbagai pihak salah satunya dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudiaan, lanjutnya, fatwa-fatwa tersebut yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah akan diterapkan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai perpanjangan tangan DSN MUI. “Keberadaan fatwa-fatwa DSN ini yang bisa dikatakan selalu terkomunikasikan dengan baik karena OJK memiliki kebutuhan terhadap Fatwa DSN. Dari DSN membutuhkan pengakuan fatwa tersebut dari OJK,” paparnya.
Menurutnya, hal ini juga merupakan aksi nyata bahwa MUI merupakan mitra pemerintah. “Karena sejauh ini, banyak hal-hal ketentuan (ekonomi dan keuangan) syariah yang diatur oleh undang-undang karena satu-satunya jalan melalui DSN MUI,” paparnya.
Prof Amin Suma menyampaikan, prinsip dalam setiap fatwa itu karena adanya pemohon sebagai prasyarat lahirnya fatwa. Pemohon tersebut tidak hanya perorangan, tetapi juga lembaga hingga pemerintah. “Fatwa DSN maupun Komisi Fatwa MUI kehadiran fatwa harus ada pemohon,” pungkasnya.
Sampai saat ini MUI masih diberikan kewanangan untuk membuat fatwa, tetapi dalam perjalanan selama ini terdapat sebagian masyarakat yang mempertanyakan kenapa kewenangan tersebut berada di MUI.
Pada tahun 2022 yang lalu, terdapat 2 pengujian undang-undang (yudisial review) di Mahkamah Konstitusi, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)), dan UU Nomor 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Penjelasan (Pasal 25).
Permohonan yudisial review tersebut secara substansi sama, yaitu mempertanyakan kedudukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Pemohon berpandangan bahwa pengaturan norma prinsip syariah oleh MUI bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap kedua permohonan yudisial review tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam masing-masing putusannya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya, antara lain mengemukakan bahwa kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia karena memiliki landasan historis, sosiologis, dan yuridis, di samping adanya kesepakatan bersama antara pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR dalam rangka terjadinya ketertiban dan kepastian hukum.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut Prof Amin Suma, pada satu sisi meneguhkan eksistensi kewenangan penetapan fatwa terkait perbankan syariah dan juga ekonomi dan keuangan syariah tetap berada di MUI, dalam hal ini DSN-MUI.
Namun, pada sisi lain, hal ini menjadi catatan semua lembaga atau ormas Islam secara umum, dan khususnya untuk MUI untuk terus menjaga kepercayaan dan harapan masyarakat serta dapat mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang dilakukan secara transparan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
“Sehingga secara kultural, masyarakat menerima dan membutuhkan MUI termasuk KBL (komisi, badan, dan lembaga) yang ada di bawahnya,” ujar Prof Amin Suma. (Saddam/Din)