JAKARTA — Pada gelaran Workshop Pra-Ijtima Sanawi DPS VIII 2023 yang digelar DSN MUI, salah satu fatwa baru yang digadang-gadang menjadi terobosan adalah fatwa no. 153 tentang skema pelunasan utang murabahah yang dilunasi sebelum jatuh tempo.
“Jadi ini memang sudah menjadi Fatwa no. 153 yang ditunggu oleh publik ya, karena fatwa ini sebetulnya merupakan respons dari kejadian nyata,” tutur Sekretaris BPH DSN-MUI, Prof Jaih Mubarok kepada tim MUIDigital beserta TVMUI, di sela-sela kegiatan Workshop di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Prof Jaih mengungkapkan latar belakang mengapa fatwa ini lahir. Menurutnya ke depan, fatwa ini dapat memperbaiki lembaga keuangan syariah dari persepsi negatif masyarakat.
“Lembaga keuangan syariah termasuk Bank Syariah dianggap tidak adil terhadap nasabah dan itu ada beberapa kejadian,” jelasnya.
Memang, hal tersebut diakui oleh Prof Jaih tidak lepas dari celah dalam fatwa DSN MUI terkait persoalan ini.
Misalnya, ujar Prof Jaih bahwa dalam akad murabahah harga itu harus pasti atas dasar kesepakatan. Jumlah kesepakatan angsurannya juga harus pasti.
Berdasarkan kesepakatan pasti ini sambungnya, apa yang terjadi di lapangan malah menjadikan celah yang menjadikan bank syariah dianggap lebih kejam dan lebih riba dari bank konvensional.
“Pada saat pembiayaan misalnya 15 tahun, tentu harganya berbeda dari 5 tahun, nah kemudian sudah diperjanjikan harga 15 tahun itu sekian rupiah, kemudian dilunasi pada tahun ke-5, kan menjadi tidak adil kalau harus (tetap) membayar yang 15 tahun,” terangnya.
Oleh karena itu, paparnya, DSN-MUI mengkaji betul terutama pada pendapat Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyahnya dan juga pendapat Rafiq Yunus al-Mishri yang mempertimbangkan waktu yang telah terlewati pada saat menjadi kewajiban nasabah dalam membayarnya.
Pada akhirnya, Fatwa Nomor 153 ini sedikit mengubah ketentuan Fatwa Nomor 23 Tahun 2002 yang tadinya hanya membolehkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memberikan potongan kepada nasabah yang bermaksud melunasi pembiayaan murabahah lebih cepat, menjadi mewajibkan LKS untuk memberikan potongan pada nasabah yang disebut tadi.
“Ya, maqashid (tujuannya) kita ingin bank syariah itu tumbuh, LKS itu tumbuh, tumbuhnya signifikan, dan ini bisa tumbuh kalau memiliki ekosistem yang bagus dan benar,” paparnya.
“Dan tidak mungkin tumbuh kalau citranya buruk, dan (fatwa) ini kan untuk memperbaiki citranya,” jelas Prof Jaih.
Dia pun mengakui bahwa kini terdapat gejolak naik turunnya diskusi terkait fatwa ini, tapi dia meyakini gejolak ini akan berlangsung sebentar saja. Dan dalam jangka panjang dapat menumbuhkan LKS karena memiliki sistem yang dicintai masyarakat.
Pertimbangan Fatwa No 153 ini, selain berpijak pada kaidah yang dikutip dari dua tokoh tadi, terutama kaidah Ibn Abidin, juga berpijak pada prinsip keadilan dan ishtihsan bil mashlahah.
“Dasar fatwa ini (berpijak pada) ishtihsan bil mashlahah (lebih mengutamakan kemaslahatan dibanding ketentuan umum yang sudah ada),” kata diam. (Ilham Fikri, ed: Nashih)