JAKARTA — Sekretaris Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI, Prof Jaih Mubarok dalam sambutannya pada Workshop Pra-Ijtima Sanawi DPS VIII Tahun 2023 singgung rencana harmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI.
“Pada bulan Mei 2023, kita sudah mendapat izin prinsip dari Badan Pengurus dalam Rapat Pleno, bahwa kita akan mencoba mengharmonisasi antara fatwa yang satu dengan fatwa yang lain, karena kadang-kadang secara norma ada yang sudah berubah dan bahkan dalam tanda kutip bertentangan,” tuturnya.
Rencana penyelarasan fatwa tersebut, kata Prof Jaih, didasarkan pada kaidah fiqih yang telah masyhur:
تَغَيُّرُ الْفَتْوَى بِتَغَيُّرِ الْأَمْكِنَةِ وَ الْأَحْوَالِ وَالْعَوَائِدِ
“Fatwa dapat berubah karena perubahan tempat, keadaan, dan kebiasaan.”
Lebih jauh, lanjutnya, dalam Fatwa DSN-MUI sendiri selalu dinyatakan bahwa “Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.”
“Setelah mendapatkan izin dari Pleno, kita akan susun beberapa fatwa menjadi satu kesatuan supaya pemahamannya utuh untuk memudahkan industri dan DPS terutama, selaku yang bertugas mengawasi pelaksanaannya di industri,” terangnya.
Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati tersebut juga memaparkan bahwa pada Standar Syariah Internasional pun hal yang sama sudah banyak dilakukan adanya penyelarasan atau pengubahan terhadap fatwa yang sudah diterbitkan (Miyar Mu’addal).
Antara lain lembaga AAOIFI No. 33 tentang Wakaf telah direvisi menjadi Standar Syariah Internasional AAOIFI No. 60 tentang Wakaf.
Sementara itu, sambung Prof Jaih, di antara beberapa contoh fatwa DSN-MUI yang perlu penyelarasan yaitu:
- Ketentuan terkait wa’d bi al-syarth yang terdapat dalam Fatwa No. 4/2000 dan Fatwa No. 27/2002, harus disesuaikan dengan ketentuan Fatwa No. 85/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
Di mana dalam fatwa sebelumnya wa’d bersifat tidak mengikat, sementara dalam fatwa terakhir wa’d bersifat mengikat apabila sebab-sebabnya terpenuhi.
- Ketentuan terkait dengan rahn. Semua fatwa rahn (No. 25/2002, 26/2002, 68/2008 (rahn tasjily) harus mengikuti ketentuan fatwa No. 92/2014 baik terkait cara menentukan dan membayar mu’nah (ujrah), posisi marhun (sebagai alat bayar atau harganya).
Di mana dalam Fatwa No. 26/2002 tentang rahn Emas, ditetapkan bahwa “biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah.” Ketentuan fatwa ini harus diubah menjadi “LKS dalam penyimpanan barang berhak mendapatkan ujrah sebagaimana akad ijarah.”
Karena imbalan atas penyimpanan emas (marhun) bukan atas dasar akad ijarah, tapi atas dasar rahn yang diperkenan adanya imbalan (disebut dengan nama mu’nah).
- Ketentuan dalam Fatwa DSN-MUI No. 23 Tahun 2002 harus disesuaikan dengan ketentuan Fatwa DSN-MUI No. 153 Tahun 2022. Perubahannya: dari boleh menjadi wajib.
Fatwa No. 23/2002 tentang Potongan Pelunasan Murabahah tersebut menyebutkan, “… LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad,” dan “Besar potongan sebagaimana dimaksud diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.”
Sementara dalam Fatwa No. 153/2022 tentang Pelunasan Utang Pembiayaan Murabahah Sebelum Jatuh Tempo (PU- PMSJT), ditetapkan bahwa LKS “wajib” memberikan potongan piutang murabahah dalam hal nasabah melunasinya sebelum jatuh tempo.
(Shafira Amalia/Azhar)