JAKARTA — Geliat pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah di Indonesia senantiasa menunjukkan tren positif. Tidak terkecuali dalam sektor perbankan syariah. Meski belum sebesar jangkauan bank konvensional, bank dengan prinsip syariah mulai banyak diminati masyarakat.
Ini terbukti dari terbentuknya Bank Syariah Indonesia (BSI) dan bank-bank lain yang berlomba menghadirkan berbagai macam transaksi berbasis syariah.
Di antara jenis transaksi paling populer dan banyak digunakan perbankan syariah adalah akad mudharabah. Bahkan, akad atau perjanjian bisnis mudharabah ini juga banyak digunakan di sektor investasi dan asuransi.
Pengertian
Lalu, apa yang dimaksud dengan akad mudharabah? Bila merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional MUI NO: 115/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah, pengertian akad mudharabah adalah perjanjian kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola (mudharib). Di mana modal usaha seluruhnya berasal dari shahibul mal.
Kemudian keuntungan usaha dibagi antara pemilik modal dan pengelola sesuai dengan apa yang tertuang dalam kontrak kerja sama yang telah disepakati. Bila ternyata usahanya merugi, kerugian sepenuhnya ditanggung pemodal dengan catatan kerugian tersebut bukan karena kesengajaan atau kelalaian pengelola.
Jenis-jenis
Setidaknya dalam fatwa DSN-MUI di atas, terdapat empat jenis akad mudharabah:
Pertama, mudharabah muqayyadah, yaitu akad mudharabah yang dibatasi jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usahanya. Artinya, pihak mudharib alias pengelola, tidak memiliki keleluasaan dalam mengelola modal yang diberikan. Semuanya telah ditentukan oleh pemodal atau shahibul mal.
Kedua, mudharabah muthlaqah. Berbeda dengan sebelumnya, akad mudharabah ini tidak dibatasi jenis usaha, jangka waktu (waktu), dan/atau tempat usahanya. Artinya pihak pengelola bebas menggunakan modal yang diberikan.
Entah itu untuk berinvestasi misalnya atau berbisnis dan lain-lain selama sesuai dengan ketentuan syariah dan menghasilkan keuntungan yang dapat dibagi.
Ketiga, mudharabah tsunaiyyah, yakni akad mudharabah yang dilakukan secara langsung antara shahibul mal dan mudharib.
Dan keempat, mudharabah musytarakah. Mudharabah yang pengelolanya (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama usaha. Mudharabah jenis ini biasa digunakan malah menjadi pijakan sektor asuransi syariah.
Ketentuan Umum
Tentunya, sebagai perjanjian kerja sama usaha, akad mudharabah memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang harus dipenuhi sesuai tuntunan syariah, antara lain:
- Akad mudharabah harus dinyatakan secara tegas, jelas, mudah dipahami dan dimengerti serta diterima para pihak
- Shahibul mal dan mudharib wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
- Mudharib wajib memiliki keahlian keterampilan melakukan usaha dalam rangka mendapatkan keuntungan
- Modal usaha mudharabah harus diserahterimakan (al-taslim) secara bertahap atau tunai sesuai kesepakatan serta modal usaha mudharabah pada dasarnya wajib dalam bentuk uang, namun boleh juga dalam bentuk barang atau kombinasi antara uang dan barang
- Modal usaha yang diserahkan shahibul mal wajib dijelaskan jumlah/nilai nominalnya dan tidak boleh dalam bentuk piutang
- Sistem/metode pembagian keuntungan harus disepakati dan dinyatakan secara jelas dalam akad.
Dan ketentuan umum terakhir sekaligus paling penting adalah: - Usaha yang dilakukan mudharib harus usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Ilham Fikri, ed: Nashih).