Oleh: Dr Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan LH & SDA MUI
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS al-
Baqarah [2] : 195)
Polusi udara adalah salah satu risiko lingkungan paling berbahaya yang berdampak pada kesehatan manusia, pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, pencemaran udara menduduki peringkat empat dan termasuk ke dalam sepuluh risiko lingkungan paling signifikan. Beberapa sumber utama emisi atau polusi udara di Indonesia berasal dari penggundulan hutan disertai kebakaran lahan gambut, kendaraan bermotor, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, debu, pembakaran sampah, dan pembakaran biomasa untuk memasak dan pemanasan.
Wilayah Metropolitan Jakarta (Jabodetabek) dan kota-kota sekitarnya (Kabupaten Bekasi, Bogor, Kabupaten Bogor, Depok, Tangerang Selatan, Tangerang, Kabupaten Tangerang), memiliki populasi lebih dari 30 juta. Semenjak 1990-an, rata-rata tahunan dari total suspended particle (TSP) di area Jabodetabek berada di atas standar internasional, dengan konsentrasi PM10 termasuk yang tertinggi di dunia.
Selain itu, Jakarta yang menjadi pusat perekonomian Indonesia juga mempunyai karakteristik yang unik sehingga menghasilkan polutan yang lebih kompleks dibandingkan PM10, yaitu PM2,5. ‘PM2,5’ adalah partikel halus dengan diameter kurang dari 2,5 µm, merupakan polutan udara yang diketahui dapat menyebabkan masalah kesehatan yang paling membahayakan.
Iqair.com menyatakan bahwa onsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini 7.4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO Tahun ini, Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota paling tercemar di Asia, dan Asia adalah benua paling tercemar udaranya sejagat.
Polusi udara yang sangat tercemar ini dapat berdampak terhadap kesehatan masyarakat, terutama untuk partikulat PM2,5. Partikel tersebut sangat kecil sehingga dapat terhirup dan mengendap di organ pernafasan.
Jika terpapar dalam jangka panjang, PM2,5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut, terutama bagi anak-anak hingga kanker paru-paru.
Selain itu, PM2,5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memacu stroke, penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung lainnya, serta dapat membahayakan ibu hamil karena berpotensi untuk menyerang janin. Pada konsentrasi tinggi PM2,5 dapat dilihat sebagai asap atau kabut, tetapi pada konsentrasi yang terlalu rendah untuk dapat terlihat dapat menyebabkan efek kesehatan yang serius.
Sebuah studi terbaru menyebutkan paparan polusi udara sebelum pembuahan atau bahkan selama bulan pertama kehamilan dapat meningkatkan risiko cacat lahir pada anak.
Polusi udara, terutama yang sangat halus seperti PM 2,5 amat berbahaya bagi kesehatan terutama kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia.
Penyakit yang dapat terjadi akibat PM 2,5 yang tinggi ini antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker dan penyakit paru kronis.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan standar PM2,5 setiap harinya ratarata di bawah 25 µg/m3 (25 mikrogram per meter kubik) untuk kualitas udara yang sehat. Sementara, pemerintah Indonesia merekomendasikan batas ambien PM2,5 sebesar 65 µg/m3.
Data pemantauan kualitas udara Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk periode 1 Januari hingga 17 Mei 2018 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata PM2,5 adalah 29,37 µg / m3, yang melebihi rata-rata tahunan WHO (10 µg/m3) serta Standar kualitas udara rata-rata harian WHO (25 µg/m3).
Secara umum, isu terkait polusi udara belum ditangani secara terpadu, terprogram dan berjangka panjang. Isu polusi udara perlu ditangani lintas SKPD dan secara skala besar, lintas pemerintah daerah (Jabodetabek).
Untuk menangani permasalaahan polusi udara, diperlukan perlibatan dan komitmen dari seluruh pihak. Jika penanganan tersebut hanya dilakukan secara sepihak oleh Pemprov DKI sebagai regulator tanpa adanya kesadaran dan kerjasama dari seluruh pihak, maka upaya yang telah dilakukan selama ini akan tidak berjalan efektif.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta tengah menginisiasi penyusunan desain besar polusi udara melalui pendekatan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk kelompok keagamaan.
Untuk umat Muslim Fatwa MUI no. 47/2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan merupakan acuan syariah dalam menangani permasalahan pencemaran udara ini.
Saat ini MUI sedang membahas penetapan fatwa mengenai perubahan iklim dimana emisi merupakan faktor utama penyebab krisis iklim ini. Dunia sudah menyadari bahwa kelompok agama belum dianggap sebagai sumber daya yang bernilai dalam mengatasi persoalan perubahan iklim karena sejatinya kerusakan bumi ini diakibatkan perilaku manusia yang eksploitatif terhadap bumi untuk kepentingan ekonomi jangka pendek semata. Oleh karenanya penanganan krisis iklim ini perlu dilakukan melalui pendekatan normatif agama.