Oleh: Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI
Di tengah tatanan dunia global yang rapuh, pesan persatuan digelar dari kota suci Makkah, 13-14 Agustus 2023 lalu. Konferensi Internasional “Komunikasi dengan Departemen Urusan Agama, Ifta dan Sheikhdoms di dunia” tersebut dihadiri sekitar 150 ulama, mufti, pemimpin, serta pemikir Islam terkemuka dari 85 negara di dunia.
Delegasi Indonesia yang hadir dalam konferensi tersebut, diantaranya adalah Ketua MUI KH M Cholil Nafis PhD dan Ketua Umum DDII Dr KH Adian Husaini. Kehadiran kedua ulama dan tokoh umat Islam Indonesia tersebut adalah bagian penting sebagai ‘penyambung lidah’ umat Islam Indonesia kepada dunia Islam.
Kerapuhan tatanan global
Telah berlalu 500 hari, tapi perang Rusia-Ukraina yang dimulai 24 Februari 2022, belum berakhir. Seruan damai banyak diserukan, tapi perang masih lanjut. Pertanda, tatanan global kita sedang rapuh; tidak ada suara yang representatif, yang didengar dan dituruti, untuk menghentikan perang tersebut. Kerapuhan tersebut juga dipahami oleh tokoh umat Islam dalam konferensi di Makkah, itulah mengapa hajat internasional tersebut digelar, untuk menyatukan umat Islam di tengah kerapuhan global.
Kerapuhan tatanan tersebut diperkuat dengan rivalitas antarkekuatan besar dunia. Amerika versus China, dua kekuatan besar tersebut tengah adu kuat setidaknya di Indo-Pasifik, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Di Samudra Atlantik, jet tempur Amerika telah menembak jatuh balon raksasa China yang disebut sedang memata-matai situs militer negeri asal Paman Sam itu.
Colin I Bradford dalam tulisannya “Perspectives on the future of the global order” di Brookings (4 Mei 2022) menulis, “Di satu sisi, China menyoroti sejauh mana Barat terlihat telah memaksakan nilai-nilai universalnya yang dianggap universal pada sistem global pada periode pasca-perang, yang menguntungkan pelaksanaan hegemoni Amerika Serikat.”
Di sisi lain, kata Bradford, “Amerika Serikat menafsirkan komitmen China untuk membentuk tatanan multipolar berdasarkan nilai-nilai yang berbeda dan didorong oleh norma-norma yang berbeda yang lebih menguntungkan negara-negara non-Barat karena China menjadi kekuatan global terkemuka dalam proses tersebut.”
Kedua perspektif tentang masa depan tatanan global tersebut tampaknya mendorong divergensi yang lebih besar dan menciptakan atmosfer “Perang Dingin baru”, meskipun kedua raksasa tersebut mengatakan ingin menghindarinya.
Rivalitas tersebut menciptakan ketegangan lingkungan geopolitik yang dibarengi dengan ekspansi dan penguatan jalur perdagangan di Indo-Pasifik. Melalui Belt and Road Initiative (BRI, atau B&R) atau One Belt One Road (OBOR), China bersiasat melalui pembangunan infrastruktur global–pada tahun 2013–untuk berinvestasi di lebih dari 150 negara dan organisasi internasional. Di Bejing, China juga menjadi mediator bagi pulihnya hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran yang sebelumnya putus selama enam tahun terakhir. Di titik ini, China tengah memainkan peran strategisnya sebagai negara besar.
Saat ini, Amerika Serikat juga terlihat lebih dekat dengan dunia Islam, walaupun pada periode sebelum Trump, Obama juga menunjukkan kedekatan dengan dunia Islam (contohnya, pidato Obama di Mesir tahun 2009). Pasca 9/11, jika ditarik secara umum, memang agak jauh jarak antara Amerika dan dunia Islam (apalagi pasca-invasi ke beberapa negara Islam), akan tetapi di masa Presiden Biden Amerika terlihat lebih soft, setidaknya jika dibandingkan dengan retorika travel ban Presiden Trump berdasarkan executive order 13769 bagi orang-orang dari tujuh negara mayoritas Islam: Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.
“Dengan berakhirnya perang melawan teror,” tulis Shadi Hamid di Brookings (14/03/2023), “sekuritisasi identitas Muslim sebagian besar sudah berlalu.” Muslim Amerika Serikat semakin menjadi bagian dari arus utama budaya, diterima dan dinormalisasi, kata Shadi Hamid. Islam diterima–tepatnya ‘kembali diterima’ setelah berakhirnya ‘sekuritisasi’ identitas Muslim.
Islam yang terdistorsi
Konferensi Makkah juga melihat adanya kecenderungan agresif yang bertujuan mendistorsi citra Islam oleh mereka yang tidak memahami Islam dengan baik. Distorsi tersebut misalnya terlihat dari kasus pembakaran Alquran dan meningkatnya kasus Islamofobia di beberapa negara.
Di sisi lain, saat ini ada kecenderungan Amerika Serjkat dan PBB untuk melawan Islamopobia. Kasusnya meningkat, akan tetapi perlawanan struktural–dari atas–ada. Misalnya pada 20 April 2023, Presiden Biden mengatakan, “Pemerintahan saya juga berkomitmen untuk menangani segala bentuk kebencian, termasuk Islamofobia”, bahkan “…mendorong setiap orang Amerika untuk membangun negara yang lebih inklusif.”
Majelis Umum PBB bahkan mengadopsi resolusi yang disponsori oleh 60 Negara Anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia. Berbagai negara menyambut baik resolusi tersebut.
Urgensi seruan Makkah
Dari konferensi Makkah tersebut, mengutip Arab News (13/8/2023), Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan di Arab Saudi Sheikh Abdullatif Al-Asheikh menyampaikan bahwa forum tersebut sangat penting untuk membangun perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di negara-negara Islam dan secara global. Singkatnya: ini forum persatuan Islam. Forum kerja sama, kemitraan, dan solidaritas berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kasih sayang, dan moderasi seperti yang dicontohkan Nabi dalam berdakwah,” jelas Al-Asheikh.
Pesan persatuan tersebut urgen untuk dunia Islam. Di tengah tantangan dunia yang cenderung tidak stabil ini, dunia Islam patut bersatu untuk menciptakan maslahat bagi dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Tindak lanjutnya adalah komunitas intensif antara tokoh dunia umat Islam dalam menyerukan moderasi di seluruh dunia.
Apa yang disebut Sekjen OKI Hissein Brahim Taha adalah tepat. “Kita dituntut untuk berdiri teguh melawan kecenderungan dan arus permusuhan tersebut dan membangkitkan konsep persatuan Islam, yang dikenal sebagai persatuan yang beradab, berbudaya, dan manusiawi berdasarkan kerjasama, kohesi, interaksi, dan pengayaan peradaban manusia di semua bidang.”
Majelis Ulama Indonesia sebagai non-state actors dan mitra pemerintah memiliki peran penting sebagai ‘wadah silaturahim’ ulama, zuama dan cendekiawan Muslim sekaligus ‘representasi suara’ umat Islam untuk menciptakan tatanan dunia global yang damai. Salah satu aktivitas pentingnya adalah muhibah, sebuah misi persahabatan dengan tokoh Islam, lintas agama, dan tokoh kunci dalam perdamaian global.
Pada 2023, Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional mengagendakan muhibah ke tiga negara, yakni Malaysia, Uzbekistan, dan Maroko. Muhibah atau dalam bentuk multaqa ulama (pertemuan ulama) sangat penting untuk merekatkan kerja sama antartokoh Islam dunia sekaligus sebagai bentuk projection of values nilai-nilai Islam wasathiyah dengan karakter damai dan harmoni ala Indonesia.
Perhatian ke Indo-Pasifik
Selain tiga negara tersebut di atas–sebagai misi muhibah 2023–kawasan lain yang patut diberi perhatian adalah Indo-Pasifik.
Kita tahu bahwa saat ini salah satu ‘titik-panas’ dunia ada di Indo-Pasifik. Menlu RI Retno Marsudi mengingatkan itu saat membuka pertemuan Menlu East Asia Summit (EAS) di Jakarta (14/7/2023), “Indo-Pasifik jangan sampai menjadi medan perang. Kawasan ini harus tetap stabil.” EAS beranggotakan 18 negara, yaitu anggota ASEAN dan para mitra, termasuk AS, RRT, Rusia, Jepang, India, Australia, Korea, dan Selandia Baru.
Diprediksi, kawasan Indo-Pasifik berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi global dalam 30 tahun ke depan dalam bidang yang beragam: teknologi, kedokteran, dan energi terbarukan. Selain sebagai kontributor pertumbuhan ekonomi, Indo-Pasifik juga harus jadi kontributor untuk perdamaian dan menyebarkan paradigma kolaborasi ke kawasan lain untuk mewujudkan cita-cita kolektif, yaitu kawasan yang damai, stabil, dan inklusif.
Di Universitas Indonesia, pada 14 Desember 2021, Menlu AS Anthony Blinken mengatakan, “Indo-Pasifik adalah kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Kawasan ini mencakup 60 persen dari perekonomian dunia, dua pertiga dari total pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir.”
Kawasan ini, lanjut Blinken, “Merupakan tempat tinggal bagi lebih dari setengah penduduk dunia, dan tujuh dari 15 negara ekonomi maju. Kawasan ini sangat majemuk. Lebih dari 3.000 bahasa dan banyak agama, membentang di antara dua samudera dan tiga benua.”
Indo-Pasifik dalam pandangan Indonesia haruslah bertujuan pada bagaimana memajukan inklusivitas, kebiasaan berdialog (habit of dialogue), serta penyelesaian permasalahan kawasan secara damai–sebagaimana yang kerap disampaikan Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi dalam berbagai kesempatan.
Dalam pidatonya di Washington, D.C. (2013), Menlu RI Marty Natalegawa mengusulkan pembentukan konsepsi Indo-Pacific Treaty of Friendship and Cooperation untuk menciptakan kawasan Indo-Pasifik yang bersahabat dan bekerjasama.
Jack Georgieff, dalam artikelnya “An Indo-Pacific Treaty: An Idea Whose Time Has Come?” menulis ada tiga gagasan besar Natalegawa terkait ‘perjanjian persahabatan regional’ Indo-Pasifik, yakni: soal defisit kepercayaan, sengketa wilayah yang belum terselesaikan dan mengelola perubahan di kawasan (The Diplomat, 17 Mei 2023).
Dalam pandangan Natalegawa, kurangnya kepercayaan dapat menyebabkan konflik terbuka dan untuk itu perlu penekanan komunikasi yang jelas dan terbuka antara aktor negara. Maka, modalitas kepercayaan sangatlah penting untuk persahabatan dan kerjasama khususnya di kawasan tersebut. Soal trust tentu saja tidak hanya kerja state actors, tapi juga non-state actors, termasuk Majelis Ulama Indonesia.
Terkait dengan inspirasi Konferensi Makkah di atas untuk menciptakan persatuan, maka berbagai aktivitas khidmah ta’awuniyah (kerja sama) dan duwaliyah (internasional) Majelis Ulama Indonesia perlu mempertimbangkan sinergi dan kolaborasi di kawasan Indo-Pasifik. Berbagai kemitraan perlu memasukkan faktor Indo-Pasifik, misalnya dengan menguatkan jaringan ulama, cendekiawan, pemikir, dan tokoh Islam Indo-Pasifik atau dakwah Islam di Indo-Pasifik yang bermitra dengan pemerintah dan para pihak terkait. *