JAKARTA— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyerukan agar dzikir akbar setiap tanggal 1 Agustus harus terus dilestarikan sebagai bentuk rasa syukur kemerdekaan, juga panggilan tauhid.
“Bagi bangsa Indonesia, bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan. Dan kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah buah dari rahmat Allah Yang Maha Kuasa, serta panggilan tauhid kita. Setiap tanggal 1 Agustus, Presiden RI (Jokowi) memulai bulan Kemerdekaan dengan Dzikir Akbar di Istana Negara,” kata kiai Niam saat menyampaikan khutbah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (11/8/2023).
Kiai Niam mengatakan, kegiatan dzikir akbar tersebut sebagai rangkaian pembuka bulan kemerdekaan harus terus dilestarikan oleh siapapun Presidennya, dan semua umat Muslim Indonesia.
Kiai Niam menyebut bahwa kegiatan ini bagian dari sunnah hasanah sehingga, perlu untuk terus dilestarikan.
Kiai Niam menerangkan, dzikir dengan mengagungkan asma Allah SWT sebagai manifestasi tasyakur umat Islam atas nikmat, rahmat dan karunia Allah SWT kepada hamba-Nya.
“Tasyakur tersebut menjadi semakin penting, ketika pasca-Proklamasi kemerdekaan hingga hari ini, kita dikaruniai tegaknya kepemimpinan negara yang menjamin rasa aman dan nyaman,” ujarnya.
“Bebas menjalankan aktivitas keagamaan dan dapat terjaminnya rasa aman, serta dapat terpenuhinya sandang, pangan dan papan,” sambungnya.
Menurut Kiai Niam, hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Suthaniyyah yang menerangkan tujuan dari pemerintahan yakni menjamin tegaknya agama dan terurusinya urusan dunia.
“Kepemimpinan (Imamah) itu dibangun untuk pengganti (fungsi) kenabian dalam menjaga agama serta mengurusi urusan duniawi,” paparnya.
Kiai Niam menyebut bahwa kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai hasil dari proklamasi kemerdekaan adalah nikmat dan karunia yang harus disyukuri.
Oleh karena itu, dia mengimbau agar umat selalu memiliki cara pandang yang positif dan optimis. Dengan begitu, dapat menghantarkan hati dan pikiran agar lebih mudah bersyukur pada rahmat dan karunia Allah SWT.
“Sebaliknya, jika hati dan pikiran kita diliputi oleh cara pandang negatif dan pesimis, maka yang muncul adalah keluh kesah, serba kurang, hingga keputusasaan atas rahmat dan karunia Allah SWT yang sangat besar ini,” terangnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini mengungkapkan, banyak umat Islam dan warga bangsa di berbagai dunia yang kurang bersyukur.
Sehingga, efek dari kurangnya rasa syukur tersebut sampai-sampai melalaikan persatuan untuk kesejahteraan. “Mereka mengekspolitasi perbedaan untuk dipertentangkan, bertikai dan berperang tak berkesudahan,” sambungnya.
Dampaknya, kata kiai Niam, warganya tidak memiliki rasa aman dan tenang. Kiai Niam menjelaskan, kemerdekaan juga merupakan salah satu inti dari keimanan.
“Salah satu inti dari keimanan adalah kemampuan membebaskan diri dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju kepada penghambaan dan kepasrahan total kepada al-Khaliq,” jelasnya.
Oleh karena itu, kemerdekaan yang diperingati oleh bangsa Indonesia setiap bulan Agustus merupakan panggilan keimanan dan buah dari kesadaran ketuhanan.
Meski begitu, kiai Niam mengatakan, penyampaian rasa syukur atas nikmat kemerdekaan ini tidak cukup dengan penyampaian secara verbal dalam bentuk dzikir dan kesadaran kemahabesaran Allah yang Mahabesar.
“(Tetapi) tasyakkur harus dimanifestasikan dalam tindakan dengan membangun jiwa kepahlawanan. Menanam kebaikan dan kemaslahatan, yang buah manisnya akan dirasakan, puluhan hingga ratusan tahun ke depan, ” tegasnya. (Sadam, ed: Nashih)