JAKARTA— Syaban menjadi salah satu bulan penting dalam sejarah Islam. Bulan yang termasuk ke dalam bulan haram ini, menyimpan banyak peristiwa salah satunya peralihan arah kiblat.
Sebagaimana yang telah diketahui, makna kiblat identik merujuk pada Kabah. Dalam kamus Al-Munawir disebutkan kata kiblat berasal dari bahasa Arab yang berarti menghadap.
Menghadap dalam konteks ini adalah arah yang dituju umat Muslim ketika shalat. Senada dengan pengertian tersebut, dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan Kementerian Agama RI, kiblat diartikan sebagai suatu arah tertentu umat Muslimin mengarahkan wajahnya dalam ibadah shalat.
Baik dalam Alquran maupun hadits, kata kiblat dan Kabah disebutkan berulang kali. Hal ini menunjukkan pentingnya perintah ibadah yang dikuatkan melalui sumber otoritas ajaran Islam dan didukung sumber fiqih yang ada.
Peralihan kiblat
Berkenaan dengan peristiwa peralihan arah kiblat yang terjadi pada Syaban, Alquran merekamnya dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 144 yang berbunyi:
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَووَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّببِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
“Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidil Haram) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Terkait ayat di atas, Al-Qurthubi dalam kitabnya Tafsir al-Qurthubi mengutip pendapat dari Abu Hatim Al-Basti yang berkata bahwa Allah SWT menurunkan ayat peralihan kiblat kepada Nabi Muhammad SAW pada malam Selasa.
Tepatnya pada pertengahan bulan Syaban yang dikenal dengan istilah malam Nisfu Syaban. (Lihat Tafsir Al-Qurtubi, juz 1, hal 671).
Arah kiblat yang semula umat Muslim menghadap kala shalat yakni berada di Baitul Maqdis (Palestina). Kemudian melalui ayat ini, Allah alihkan kiblat menjadi ke Kabah (Makkah).
Diceritakan pula oleh Imam Baidhawi, ayat di atas berkenaan dengan penantian Nabi Muhammad SAW memohon dan menunggu datangnya wahyu.
Rasulullah SAW berharap, Allah SWT mengalihkan kiblat ke arah Kabah. Sebab, di sanalah tempat pertama Islam diserukan dan menjadi kiblat Nabi Ibrahim.
Hikmah peralihan kiblat
Dalam Tafsir al-Wasith, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan terdapat 3 hikmah dari peralihan kiblat yang semulanya di Masjid Al Aqsa ke Masjidil Haram.
Pertama, ahlul kitab mengetahui kebenaran bahwa arah kiblat Nabi mereka berada di Kabah. Hal ini pula yang menjadi bahan cercaan atas Nabi Muhammad SAW yang menghadap ke Baitul Maqdis.
Sedangkan di lain sisi, kaum musyrik memandang bahwa seorang utusan dari keturunan Nabi Ibrahim diutus untuk menyempurnakan ajaran Nabi Ibrahim.
Alhasil, dengan berpindahnya arah kiblat, Allah SWT mematahkan pandangan para penentang Rasulullah tersebut.
Kedua, kesempurnaan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada bangsa Arab dan umat Islam. Rasulullah SAW berasal dari keturunan bangsa Arab, begitu pula Alquran diturunkan dengan berbahasa Arab.
Keistimewaan inilah yang disebut dengan kesempurnaan nikmat Allah SWT kepada bangsa Arab. Dengan sebab adanya peralihan kiblat ke Kabah.
Ketiga, memantapkan keimanan umat Islam. Cercaan dan hinaan yang diarahkan kepada umat Muslim sebab kiblat yang semula di Baitul Maqdis, tidak serta-merta meruntuhkan keimanan mereka untuk taat kepada Rasulullah SAW.
Hal ini pula yang menempa keimanan umat Muslim kepada Allah SWT dan Rasul-Nya kian kokoh dari waktu ke waktu.
Sejatinya, setiap urusan yang Allah SWT tetapkan memiliki hikmah bagi alam semesta dan isinya. Peralihan arah kiblat menjadi bukti terhadap keagungan dan kebesaran-Nya.
Manusia diperintahkan untuk menjalani ketetapan tersebut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan.
Bukan tanpa sebab, karena segala sesuatu telah Allah atur dengan sebaik-baik pengaturan untuk kemaslahatan makhluk-Nya. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia, ed: Nashih).