TENTANG
FATWA DAN KEBIJAKAN MUI TERKAIT PELAKSANAAN SALAT JUM’AT TERUTAMA PADA MASA COVID-19
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Salat Jum’at dan Jama’ah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19. Terhadap fatwa tersebut ada pertanyaan dari masyarakat tentang beberapa hal yang dirasa perlu penjelasan lanjutan dan hubungannya dengan fatwa sebelumnya. Agar fatwa tersebut dapat dipahami dengan baik oleh umat Islam dan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada di dalamnya serta menjawab pertanyaan masyarakat tentang hubungan fatwa ini dengan fatwa dan kebijakan MUI sebelumnya, maka MUI merasa perlu untuk memberikan bayan (penjelasan) sebagai berikut:
1. Fatwa-fatwa MUI sesungguhnya merupakan jawaban atas permasalahan yang muncul saat fatwa itu ditetapkan, sehingga terbuka kemungkinan dalam satu tema ada beberapa fatwa yang menjelaskan berbagai permasalahan yang ada dalam tema tersebut. Hal itu terjadi di antaranya karena munculnya permasalahan tersebut di waktu yang berbeda. Namun demikian sesungguhnya di antara fatwa-fatwa itu ada keterkaitan, saling melengkapi, dan tidak saling menafikan antara satu fatwa dan fatwa lainnya. Oleh karena itu, dalam memahami dan menjalankan fatwa-fatwa tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong, misalnya hanya meyakini dan memberlakukan fatwa tertentu serta meninggalkan yang lain
2. MUI telah menerbitkan sejumlah fatwa tentang penyelenggaraan salat Jum’at yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, atas dasar pertanyaan masyarakat dengan kondisi dan waktu yang berbeda-beda; yaitu:
- Fatwa MUI tahun 1976 tentang Salat Jum’at Bagi Musafir di Kapal.
- Fatwa MUI Nomor: 5/MunasVI/MUI/2000 tentang Pelaksanaan Salat Jum’at 2 (dua) Gelombang.
- Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Salat Jum’at, Dzikir, dan Kegiatan Keagamaan di Tempat Selain Masjid.
- Fatwa MUI Nomor: 47 Tahun 2017 Tentang ‘Udzur Syar’i Yang Membolehkan Seseorang untuk Meninggalkan Salat Jum’at.
- Fatwa MUI Nomor: 20 Tahun 2017 Tentang Hukum Menyelenggarakan Salat Jum’at Bagi Orang Yang Berada di Luar Daerah Untuk Waktu tertentu.
- Fatwa MUI Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
- Fatwa MUI Nomor: 31 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Salat Jum’at dan Jama’ah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19.
3. MUI telah menerbitkan beberapa fatwa, taushiyah, dan taujihat, yang dijadikan panduan umat Islam dalam menjalankan ibadah di masa wabah Covid-19. Khusus terkait pelaksanaan salat Jum’at di masa wabah Covid-19 harus memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi di suatu kawasan, sehingga tepat dalam menerapkan fatwa MUI.
a. Di kawasan yang kondisi penyebaran Covid-19 masih belum terkendali, diberlakuan fatwa Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Artinya kebijakan untuk tidak menyelenggarakan salat Jum’at menjadi pilihan yang paling baik sebagai upaya menjaga jiwa (hifzhu an-nafsi) umat Islam, disebabkan terjadinya kerumunan saat di masjid menjadi potensi mata rantai penyebaran Covid-19.
b. Di kawasan yang kondisi penyebaran Covid-19 terkendali tetapi masih ada potensi penyebarannya berdasarkan keputusan pihak yang berwenang dan kompeten, diberlakukan Fatwa MUI Nomor: 31 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Salat Jum’at dan Jama’ah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19.
c. Di kawasan yang sudah terbebas dari penyebaran Covid-19, diberlakukan fatwa, taujihat, taushiyah yang sesuai kondisi normal (fi halah al-ikhtiyar). Misalnya, fatwa MUI Nomor: 5/MunasVI/MUI/2000 tentang Pelaksanaan Salat Jum’at 2 (dua) Gelombang, beserta penjelasannya yang terdapat dalam Taujihat MUI Nomor: Kep-1199/DP-MUI/VI/2020 tentang Salat Jum’at di Era Tatanan Kehidupan Baru (New Normal Life).
4. Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 merupakan ikhtiar MUI untuk memberikan panduan dan pedoman kepada umat Islam dalam menyelenggarakan kegiatan ibadah, khususnya salat Jum’at dan jama’ah di masjid di masa wabah Covid-19. Fatwa ini bersifat khusus dan hanya berlaku selama masih diterapkan protokol kesehatan untuk pencegahan wabah Covid-19. Fatwa ini memberikan tuntunan kepada umat Islam tentang hal-hal yang berkaitan dengan salat jum’at dan jamaah yang tidak boleh dilakukan di waktu normal (fi halah al-ikhtiyar).
5. Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Salat Jum’at dan Jama’ah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19, memberikan panduan dalam pelaksanaan salat Jum’at dengan mengikuti protokol kesehatan, terutama physical distancing yang mengakibatkan berkurangnya daya tampung masjid sebagai tempat penyelenggaraan salat Jum’at. Fatwa tersebut memberikan panduan tahapan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam menyelenggarakan salat Jum’at. Tahapan-tahapan ini harus diterapkan secara konsisten mulai point pertama urut sampai akhir dan tidak boleh langsung melompat ke bagian akhir. Tahapan dimaksud ialah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan salat Jum’at hanya satu kali di satu masjid dalam satu kawasan. Untuk keperluan tersebut dilakukan berbagai upaya, antara lain menjadikan halaman atau tempat lain yang menyambung dengan masjid sebagai tempat tambahan para jama’ah yang tidak tertampung di dalam masjid.
Tata cara ini harus didahulukan karena merupakan tata cara normal pelaksanaan salat Jum’at (‘azimah) dan mempunyai landasan dalil paling kuat dari hadis Rasulullah SAW, atsar para Sahabat, dan keterangan para ulama sepanjang zaman.
b. Apabila ketentuan pada huruf a tidak dapat dilakukan, maka dilakukan penyelenggaraan salat Jum’at di tempat lain di kawasan tersebut, misalnya di mushalla, aula, atau lapangan dengan mematuhi syarat dan rukun penyelenggaraan salat Jum’at sesuai dengan protokol kesehatan.
Ketentuan ini juga mempunyai alasan syari’ah (hujjah syar’iyah) yang kuat, karena semua ulama sepakat tentang kebolehan pelaksanaan salat Jum’at dengan cara ini apabila cara pertama tidak dapat dilakukan.
c. Apabila ketentuan pada huruf a dan huruf b tidak dapat dilakukan atau sudah dilakukan tetapi masih ada jamaah yang tidak tertampung, maka — setelah mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di kawasan tersebut– boleh memilih satu di antara dua hal berikut: melaksanakan salat Jum’at lebih dari satu kali di satu masjid atau melaksanakan salat Zuhur sebagai ganti salat Jum’at.
6. Keterangan yang ada di angka 5 huruf c di atas merupakan pilihan, karena adanya pandangan di komisi fatwa yang menggambarkan dua pilihan itu. Masing-masing memiliki argumentasi hukum syara’nya (hujjah syar’iyah) sebagai berikut:
- Pada dasarnya salat jum’at dilakukan sekali di masjid di suatu kawasan di satu waktu. Berkembangnya wilayah Islam menyebabkan jauhnya jarak perumahan dengan masjid dan bertambah banyaknya jumlah umat Islam menyebabkan tidak muatnya daya tampung masjid terhadap jama’ah. Kedua hal ini menjadi alasan kuat (hajah syar’iyyah) dibolehkannya melaksanakan salat Jum’at di beberapa masjid dan tempat-tempat lain dalam satu kawasan di waktu yang sama (ta’addud al-jumu’ah). Pendapat ini merupakan konsensus (ijma) para ulama sepanjang zaman.
- Dibolehkan salat Jum’at dua kali atau lebih dalam satu masjid (tikrar al-Jumu’ah) sebagaimana disebutkan dalam angka 5 huruf c dengan alasan:
- Karena disamakan (ilhaq) dengan dibolehkannya salat Jum’at di beberapa masjid dan tempat tempat lain (ta’addud al-Jumu’ah) dalam satu kawasan karena adanya kebutuhan yang mendesak (hajah syar’iyyah) yang diakibatkan wabah Covid-19, yaitu setelah tidak bisa dilakukan salat Jum’at di beberapa masjid dan tempat tempat lain di satu kawasan di satu waktu.
- Tidak tertampungnya jama’ah pada gelombang pertama tidak menggugurkan kewajiban Jum’at bagi yang belum melaksanakan salat Jum’at, sehingga mereka harus melaksanakan salat Jum’at pada gelombang berikutnya; bukan melaksanakan salat zuhur.
- Salat Jum’at dua kali atau lebih dalam satu masjid (tikrar al-Jumu’ah) semakin menambah syiar Islam melalui wasiat-wasiat takwa dalam khutbah Jum’at dan motivasi ibadah.
- Dengan melaksanakan salat Jum’at dua kali atau lebih dalam satu masjid (tikrar al-Jumu’ah) dapat melepaskan diri dari ancaman (al-wa’id) meninggalkan salat Jum’at tiga kali berturut-turut.
- Tidak dibolehkan salat Jum’at dua kali atau lebih dalam satu masjid (tikrar al-Jumu’ah) sebagaimana disebutkan dalam angka 5 huruf c dengan alasan.
- Kewajiban salat Jum’at gugur dan wajib digantikan dengan salat zuhur.
- Salat Jum’at dua kali dalam satu masjid tidak sah karena orang yang datang terlambat dan tidak mendapati ruku’ bersama imam di rakaat kedua maka salat Jum’atnya tidak sah (man fatathu al-Jumu’ah), apalagi orang yang tidak mendapati Jum’at sama sekali.
- Kebutuhan mendesak tidak menjadi sebab dibolehkannya salat Jum’at dua kali atau lebih dalam satu masjid (tikrar al-Jumu’ah), karena alasan seperti itu sesungguhnya sudah ada semenjak masa-masa awal Islam sampai dengan masa ulama mutaakhirin dan jalan keluar yang digunakan adalah dengan perluasan masjid dan melakukan salat Jum’at di lebih dari satu masjid dalam satu kawasan (ta’addud al Jumu’ah).
- Dalam konteks Indonesia tidak ada halangan (mawani’) untuk melaksanakan salat Jum’at di beberapa tempat di satu kawasan, disebabkan tidak ada halangan perizinan, ketersediaan tempat yang memadai, dan sebagainya.
- Pilihan mengganti salat Jum’at dengan salat Zuhur pada saat Covid-19 lebih meringankan umat Islam dan menghindarkan resiko terjadinya mata rantai penularan Covid-19.
7. Adanya pilihan sebagaimana disebutkan dalam poin nomor 5 poin c di atas merupakan suatu hal yang lumrah disebabkan adanya keragaman pemahaman pada dalil-dalil syar’i dan keragaman pemahaman pada realitas sisi masyaqqah dan dharuratnya keadaan. Hal itu untuk menentukan pilihan jalan keluar yang lebih maslahat bagi umat dalam menghadapi covid-19, sesuai tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) antara lain; memelihara agama (hifzhu al-din) dan memelihara jiwa (hifzhu al-nafs). Hal yang seperti ini telah terjadi pada masa sahabat, generasi demi generasi sampai zaman ini dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam. Di antara hikmahnya adalah memberikan kemudahan kepada umat untuk memilih pendapat yang lebih diyakini dan lebih sesuai dengan kemaslahatan mereka tanpa sengaja mencari-cari yang gampang ataupun sengaja mempersulit diri.
Oleh karena itu, sangat penting untuk terus menjaga ukhuwah Islamiyah dengan saling menenggang rasa serta menghargai perbedaan yang ada dan tidak saling menyalahkan satu pendapat dengan pendapat lainnya. Hal ini sejalan dengan keteladanan yang dicontohkan para imam mazhab: pendapatku benar tapi mungkin mengandung kesalahan, dan pendapat selainku salah tapi mungkin mengandung kebenaran.
رأيي صواب يحتمل الخطأ، ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
Wallahu a’lam bis-shawab.
Jakarta, 6 Juni 2020.
Tim Perumus:
- Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo
- KH. Abdullah Jaidi
- KH. Sholahudin Al Aiyub
- Dr. KH. M. Zaitun Rasmin
- Dr. Maulana Hasanuddin
- Dr. H.M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA
- Prof. Jaih Mubarok
- Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA
- KH. Arwani Faisol
- Miftahul Huda, Lc
- KH. M. Faiz Syukron Makmun, MA
- Drs. H. Aminudin Ya’kub, MA
- KH. Abdul Muiz Ali
- Dr. Sopa
- Akbar Kurniawan (Notulis)