Oleh : Thobib Al-Asyhar
(Liputan Perjalanan Luar Negeri)
Satu isu penting yang ingin saya tahu saat berkunjung ke Tunisia adalah pola keberagamaan masyarakatnya. Sebelum tiba, saya punya asumsi bahwa Tunisia kurang lebih sama dengan negara-negara Arab yang kaku dalam beragama. Apalagi Tunisia sebagai pemicu timbulnya Arab Spring beberapa tahun lalu.
Namun, asumsi awal saya ternyata meleset. Apa pasal? Ini saya punya cerita yang mungkin bisa menggambarkan tentang pola keberagamaan orang Tunisia secara umum. Ya, ini hanya gambaran sekilas yang mungkin bisa menjadi indikator sebuah kesimpulan.
Saat makan di sebuah restoran pinggir teluk Tunisia, Aquatic Restaurant, bersama dengan tim KBRI, saya ingin mencari “mushalla” untuk shalat Ashar, sekaligus jama’ ta’khir dzuhur. Lalu saya mencoba bertanya kepada petugas resto: “where is the place for sholat? Rupanya dia yang mengerti dan mikir agak lama, lalu saya bilang “the place for prayer” (sambil memperagakan takbir).
Sesaat kemudian dia baru “ngeh”. Lalu dia meminta saya mengikutinya di sebuah ruangan basement yang saya lihat aneh. Kok? Ya karena diarahkan menuju dapur resto. Saya pun bingung sambil membatin mau dibawa kemana nih gerangan? Tibalah saya di sebuah tempat yang biasa untuk memanggang roti-roti yang akan dijajakan ke para tamu resto.
Terus saya bertanya: “whats this place?”, nggak dijawab. Saya bertanya lagi: “how can I prayer here?”. Sambil menggelar handuk di lantai lalu dia nunjuk, dan saya pun “terpaksa” shalat di situ. Entah arah kiblatnya pas apa nggak. Yang jelas, saya shalat di depan panggangan roti dan panas pula.
Apa yang saya jelaskan tadi hanya sebuah gambaran bahwa orang Tunisia memang cenderung cuek soal ritual agama. Restauran yang terbilang besar saja tidak menyediakan tempat kecil sekedar untuk shalat pengunjung maupun karyawannya sekalipun. Beda sekali di tanah air. Di rumah makan kecil saja ada mushallanya.
Benar saja, selama saya tinggal dua hari di sini tidak sekalipun mendengar suara azan seperti di Jakarta. Saat saya tanyakan kepada staf KBRI, di Tunis memang jarang ada masjid. What? Iya, jarang masjid. Jika pun ada, mereka sangat silent, tidak ada azan dengan speaker keras-keras seperti di tanah air. Apalagi pengajian ibu-ibu di siang bolong. You can’t find it there.
Shalat Jumat di Akhir Waktu
Pengalaman terkesan selama berkunjung ke Tunisia adalah mengikuti shalat Jumat di Akhir Waktu. Ini pengalaman paling menarik panjang hidup. Ikut shalat Jumat yang diselenggarakan di akhir waktu dzuhur. Benar-benar dilaksanakan di akhir waktu. Kok? Iya, shalat Jumatnya diselenggarakan mulai jam 15.00 waktu Tunis, berakhir sekitar jam 15.30, dan langsung dirangkai sholat ashar.
Saat disampaikan oleh staf KBRI bahwa di Tunisia ada jam-jam shalat Jumat yang berbeda-beda (tidak selalu di awal waktu), saya menyimak secara serius. Ada yang jam sekitar 12.30, ada yang jam 14.00, dan ada pula yang jam 15.00, sekaligus dirangkai shalat ashar.
Nah, begitu disebut shalat Jumat di akhir waktu, saya betul-betul sangat tertarik untuk ikut. Saya bilang, pak tolong kami dianter ke masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat di akhir waktu yah. Kalau shalat di awal waktu kan sudah biasa. Sudah gak ada “challenging” nya lah kata anak milenial. Biar kami bisa merasakan “sensasi” shalat Jumat di waktu yang berbeda.
Tibalah hari Jumat kemarin, setelah kami menyelesaikan Konsultasi Bilateral RI-Tunisia. Acara memang hingga jam 13.00 sejak jam 09.00 pagi. Artinya, kalau menggunakan patokan shalat Jumat di awal waktu, pastilah kami tidak bisa ikut shalat Jumat. Tapi untungnya ada beberapa pilihan waktu shalat Jumat. Itulah enaknya beragama di Tunisia.
Selesai acara, kamipun tidak buru-buru. Kami sempat makan siang dulu di sebuah restoran Turki-Arab hingga jam 14.30. Selesai menikmati menu Kus-kus lahm, kami bergegas ke sebuah masjid bernama Al-Ikhlas, yang posisinya di kawasan Ain Zakwan. Jaraknya sekitar 25 menit dari tempat kami lunch.
Setiba di masjid, kami melihat suasana biasa seperti orang-orang mau shalat Jumat. Tapi saya melihat hampir jamaah-nya tdk ada yang mengenakan pakaian “resmi” shalat, spt baju gamis, sorban, kopyah, dan semacamnya kayak di tempat-tempat lain. Mayoritas jemaah mengenakan pakaian casual, kemeja dengan jeans, kaos berkerah atau oblong. Duduknya pun rileks, kaki-kaki banyak diangkat. Tapi tidak ada yang ngobrol dan main HP seperti sebagian jemaah shalat Jumat di tanah air.
Sambil mendengarkan khutbah berbahasa Arab, mata dan telinga saya pasang baek-baek biar bisa menyerap informasi secara utuh. Khatibnya saya lihat sangat ekspresif, sambil memegang tongkat. Tangan dan badannya aktif untuk menekankan pesan-pesan yang disampaikan. Tema khutbahnya tentang “mafatih al-khair” (kunci-kunci kebaikan) yang disampaikan sekitar 20 menit.
Saat shalat dimulai, habis takbir imam langsung baca Al-Fatihah tanpa basmalah. Maklum lah, di Tunisia mayoritas pengikut mazhab Maliki. Banyak pula yang tangannya tidak bersedekap.
Yang menarik, imam shalat habis Al-Fatihah tidak baca surat yang panjang-panjang, seperti “sabbihis”. Surat yang dibaca justru yang pendek-pendek. Rekaat pertama surat “al-kautsar” dan rekaat kedua surat “al-ikhlas”. Cepat, praktis, dan beres.
Jadi ingat sejarah Muadz bin Jabal yang pernah “dimarahin” Nabi gegara ngimami dengan bacaan panjang. Kata nabi, jamaah shalat itu banyak urusannya, jadi janganlah membuat fitnah gara-gara shalat berjamaah lama-lama. Kira-kira itulah pesan umumnya.
Nah, begitu shalat Jumat usai, ini yang menarik. Hampir semua jamaah tidak ada yang meninggalkan tempat. Sekitar 3 menit sehabis “salam”, lalu berkumandang azan ashar. Dan jamaah melanjuntukan shalat ashar secara berjamaah. So, ini yang kali pertama saya lihat langsung shalat ashar full dengan berjamaah.
Cara beragama masyarakat Tunisia sangat santai dan rileks. Berbeda dalam amalan agama sebagai hal biasa. Tidak ada yang saling menyalahkan. Alasan shalat Jumat berbeda-beda waktu saya belum dapat jawaban pasti. Ada yang bilang karena alasan agama. Ada juga yang bilang sebagai alternatif bagi yang sibuk.
Lalu apa hukumnya shalat Jumat di akhir waktu? Yang jelas tidak ada ulama mazhab yang melarang. Yang sudah pasti dilarang itu jika kita tidak shalat Jumat. Mungkin cara shalat seperti ini bisa jadi alternatif di tanah air, meski banyak yang setuju.
Thobib Al-Asayahar
(Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, Kabag Kerja sama Luar Negeri Kementerian Agama).