Mufti Betawi Habib Usman bin Yahya menulis buku tentang bagaimana cara menjadi ulama yang sebenarnya.
Buku kecil ini menarik karena masih tetap dikaji di sejumlah majelis taklim di beberapa daerah, khususnya Jakarta. Buku yang terbilang tipis ini ditulis oleh Mahaguru ulama Betawi akhir abad 19 dan awal abad 20 yang sangat produktif menulis dan banyak mempengaruhi wajah Islam Betawi dan Nusantara.
Buku ini ditulis Sayid Usman bin Yahya pada tahun 1317 Hijriyah atau sekitar tahun 1896, sekitar 120 tahun yang lalu. Namun, kemudian ditulis secara khath oleh Mukhlis Hasan Basri Al-Hamdani pada 6 Rajab tahun 1382 H atau sekitar tahun 1961 M.
Kitab ini banyak mengutip dari sejumlah kitab seperti Ihya Ulumiddin dan Bidayatul Hidayah keduanya karya Imam Ghazali, Az-Zawajir, As-Sawaiqul Muhriqah oleh Imam Ibnu Hajar, At-Tuhfah dan Masyariqul Anwar Assaniyah bi Fadail Dzurriyah Khayril Bariyyah oleh Syaikh Zaini Dahlan, Ad-Durarun Naqiyah dan An-Nashaihud Diniyah karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Al-Fawaidul Makiyyah, Irsyadul Muhtadi, dan AzZubad karya Syaikh Ruslan, dan lain sebagainya.
Risalah ini ditulis dalam 10 alasan. Pertama, bahwa risalah ini merupakan pengingat yang di dalam sebuah hadis disebutkan sebagai kenikmatan. Kedua, menjelaskan bahwa ilmu itu terbagi dua: ilmu hati dan ilmu lisan. Ketiga, harus percaya pada hadis yang menyatakan kemuliaan ilmu. Keempat, tiada seseorang mendapatkan ridla Allah selain dengan mengikuti ajaran baginda Rasulullah.
Kelima diperlukan niat untuk belajar secara benar dan mengikuti jalan Rasulullah. Keenam, belajar bukan untuk kemegahan harta dan pangkat. Ketujuh, kegunaan ilmu sangat besar terutama jika ditularkan kepada orang lain.
Kedelapan, pahala akhirat akan berganda jika diamalkan dan diajarkan. Kesembilan, belajar selalu penuh godaan terutama godaan hawa nafsu. Kesepuluh, belajar dan mengkaji ilmu itu membuka pintu taubat.
Ulama Benar
Kemudian Sayid Usman membahas soal ilmu dalam dua pasal: pasal ilmu yang bermanfaat dan pasal ilmu yang tidak bermanfaat. Kemudian ia membahas pasal satu dalam beberapa bahasan (mabhas). Pada mabhas yang pertama disebutkan bahwa mencari ilmu adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah. Dalam Syarah Sittin disebutkan bahwa setiap amal yang wajib dilakukan maka belajar atas ilmu atas amal itu juga wajib dilakukan.
Mabhas yang kedua adalah syarat-syarat belajar dan mengajar. Pertama, harus ikhlas. Kedua, dalam belajar dan mengajar harus bebas maksiat. Ketiga, yang mengajar sudah harus menjalankan ilmunya terutama terkait hukum syariat. Keempat, harta dan makanan yang dipakai adalah diperoleh dengan cara dan uang halal, termasuk kitabnya.
Sayid Usman memberi contoh tentang kitab halal: kitab yang dicetak secara sah oleh penerbit dengan hak cipta yang jelas. “Kitab haram seperti kitab yang ditirucetak oleh orang yang serakah dunia dengan tiada rida dari pengarangnya.” Artinya, buku bajakan adalah haram.
Kelima, ketika belajar dan mengajar tidak ada kesombongan (takabur). Misalnya, menurut Sayid Usman, ia memilih guru sesuai seleranya. Padahal, ilmu itu bisa didapat dari mana saja. Keenam, ilmu yang dipelajari haruslah ilmu hati. Ketujuh, harus ada pemisah antara laki-laki dan wanita, termasuk bagi gurunya. Jika guru laki-laki mengajar murid wanita maka wajib ada dinding yang membatasi.
Rasulullah besabda: “Tiada suatu fitnah sesudah zamanku yang lebih berbahaya atas orang laki-laki daripada fitnah perempuan.” Mabhas ketiga, adab ulama. Pertama, jangan segera menjawab pertanyan seseorang.
Menurut Imam Ghazali, jka ia benar sudah yakin berdasarkan Al-Quran, hadis, Ijma dan qiyas, maka ia boleh berfatwa. Jika meragukan, maka jawab saja tidak tahu (la adri).
Menurut As-Sya’bi, menjawab tidak tahu termasuk setengah dari pengetahuan. Ibnu Mas’ud menuduh gila orang yang begitu gampang menjawab pertanyaan agama. Adab kedua, pengajar harus mengukur pemahaman muridnya.
Mabhas keempat, sifat-sifat orang berilmu. Pertama, seseorang yang berilmu itu semakin takut kepada Allah, bukan sebaliknya. Kedua, semakin rendah hati (tawadlu’) kepada orang lain. Ketiga, menyintai ahlul bait Rasulullah.
Ulama empat mazhab menunjukkan kecintaannya kepada keluarga Rasulullah. Menurut Sayid Usman, mencintai keluarga Rasulullah tercantum dalam ayat dan hadis Rasulullah.
Mabhas yang kelima menyatakan bahwa belajar menjanjikan pahala yang besar. Rasulullah menyatakan bahwa seorang yang belajar lebih baik dibanding melakukan salat sunnah 100 rekaat. Dalam hadis lain disebutkan, belajar lebih baik dibanding salat 1.000 rekaat, menengok 1.000 orang sakit dan menyalati 1.000 jenazah. Ulama Dunia Maka, sebaliknya pada pasal kedua yang membahas ciri ulama dunia atau ulama suk atau ulama buruk.
Pertama, belajar tidak ikhlas. Belajar hanya untuk kebanggaan dunia dan berbangga dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah bersabda: “Janganlah engkau belajar ilmu untuk bangga melebihkan ulama, dan mencari unggul atas orang bodoh serta (berdebat) untuk memalingkan pandangan manusia kepadanya, jika ia lakukan itu, maka tempat dia di neraka.”
Kedua, ilmu hanya disiapkan untuk berdebat. Rasulullah bersabda: “Tidak tersesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk selain mereka diberi jidal (debat dan berbantahan).” Seorang ulama berkata: “Kelak di akhir zaman ada sekelompok orang yang menutup diri pada amal dan membuka diri untuk jidal.” Ketiga, suka memaki, mengumpat dan membicarakan orang lain (ghibah).
Keempat, suka dusta. Kelima, suka memuji diri sendiri. Keenam, takabbur. Ketujuh, suka mencela dan menyebut kata keji. Kedelapan, suka mencari kesalahan dan aib orang. Kesembilan, pamer dan menyatakan dirinya sebagai orang beilmu. Kesepuluh benci kepada keluarga Rasulullah. Padahal Rasulullah bersanda: “Tak menyintai kami ahul bait kecuali seorang yang mukmin dan bertakwa.
Tidak membenci kami ahlul bait selain munafiq dan celaka.” Dalam hadis lain disebutkan: “Sangat berat amarah Allah atas orang yang menyakitiku melalui keluargaku.” Kesebelas, tidak mengamalkan ilmunya.
Ulama Mekah
Sayid Usman lahir di Batavia ( Jakarta) pada 17 Rabiul Awal 1238 H atau 1 Desember 1822. Ia belajar di Mekah selama tujuh tahun antara lain dengan Mufti Mazhab Syafi’i Syaikh Zaini Dahlan. Tahun 1848 belajar di Yaman, Mesir, Suriah, dan Istambul. Tahun 1862 ia kembali ke Batavia dan pada tahun 1899 diangkat sebagai Mufti Batavia menggantikan Syaikh Abdul Ghani.
Hingga wafatnya tahun 1913 ia masih menjabat sebagai mufti karena jabatannya berakhir hingga tahun 1914. Ia meninggalkan sekitar 47 kitab karangan yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu tentang berbagai hal.