Oleh: KH. Cholil Nafis, Ph.D.,
Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
Sering kita mendengar ceramah-ceramah di mimbar agama, bahwa hidup ini ibarat “singgah minum” dalam sebuah petualangan panjang.
Singgah minum berarti sekedar mampir memenuhi kebutuhan atau bekal untuk melanjutkan perjalanan berikutnya yang sangat lama nan jauh.
Di sini dunia bersifat sementara, dan kampung akhirat sebagai tujuan akhir.
Alquran sendiri mengumpamakan kehidupan duniawi seperti air yang turun dari langit, lalu tumbuh tanaman-tanaman di bumi, ada yang dimakan oleh manusia dan binatang ternak (QS: Yunus: 24).
Kehidupan dunia merupakan fatamorgana, kehidupan yang tidak abadi, kebahagiaan yang menipu, dan kesenangan yang semu.
Dalam ayat lain dikatakan: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS. al-Hadid: 20).
Kemudian muncul pertanyaan, apa tujuan sebenarnya penciptaan alam ini kalau memang bersifat sementara? Bagi ilmuan sekular Barat sebagaimana dinyatakan oleh Robert Frager, seorang psikolog sufi asal Amerika, bahwa alam ini diciptakan tidak memiliki tujuan. Terciptanya alam karena faktor kebetulan yang disebabkan oleh hukum alam.
Pendapat para ilmuan Barat seperti Laplace, Sigmund Freud, Charles Darwin, Emil Durkheim, dan lain-lain mendasarkan pendapatnya pada teori-teori empirik. Teori-teori ilmiah dijadikan referensi melebihi dari keyakinan mereka. Tuhan bagi mereka adalah ilusi manusia yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Lain halnya dalam pandangan Islam, bahwa alam ini diciptakan dengan tujuan yang sangat jelas. Di balik penciptaan alam terdapat maksud dan tujuan yang agung.
Dalam Alquran Allah SWT berfirman: Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS: Al-Mukminun: 115).
Dalam surat lain, Allah SWT berfirman: … Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS: Al-Imran: 191).
Lalu apa tugas manusia di bumi jika oleh Allah bersifat sementara? Tugas utama manusia adalah sebagai khalifah (mandataris) Allah di muka bumi (QS: Al-Baqarah: 30).
Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas mewujudkan kemakmuran di muka bumi (QS: Hud: 61), serta mewujudkan keselamatan dan kebahgiaan hidup di muka bumi (QS: Al-Maidah: 16), dengan cara beriman dan beramal shaleh (QS: Al-Ra’d: 29), bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama dalam menegakkan kesabaran (QS: Al-‘Ashr: 1-3).
Karena itu tugas kekhalifahan merupakan tugas suci dan amanah dari Allah sejak manusia pertama hingga manusia akhir zaman yang akan datang. Umat Islam selalu diingatkan oleh Allah melalui berbagai kesmepatan, diantaranya adalah saat mengakhiri di bulan Ramadan.
Setelah kita mampu menyelesaikan tugas-tugas suci selama Ramadan, melalui berbagai amal ibadah, dan amal sosial kita diibaratkan seperti kembali pada kondisi di awal penciptaan, yaitu sosok makhluk Tuhan yang tidak memiliki dosa.
Karena itu, setiap kita mengakhiri di bulan Ramadan, kita diminta oleh Allah dan Rasulnya agar memahami secara utuh tujuan penciptaan alam ini, dengan selalu bersih dari dosa-dosa adami dengan sepenuhnya memiliki kesadran spirit menuju Tuhan.
Akankah kita di bulan suci Ramadan ini telah memiliki kesadaran yang utuh akan tujuan awal manusia diciptakan? Jika sudah, apakah kita telah menunaikan tugas-tugas utama sebagai khalifah di bumi? Wallahu a’lam
Sumber: Tribunnews