Oleh: Yanuardi Syukur, Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI
Deklarasi Jakarta atau ‘Deklarasi Jakarta 2023’ sebagai hasil dari Konferensi Internasional MUI terkait ‘agama, perdamaian, dan perdamaian’ di Jakarta (21-23 Mei 2023) yang terdiri dari tiga poin besar urgen untuk disebarkan ke seluruh dunia.
Poin pertama menjelaskan bahwa agama adalah sumber ajaran transformasional sebagai pedoman bagi penganutnya untuk hidup damai, harmoni dan inspirasi dalam membangun peradaban.
Kedua, sebagai keniscayaan, perbedaan perlu dijaga, dihormati, dan dilindungi pemerintah dan civil society. Serta, diperlukannya langkah konkret bersama-sama untuk memperkokoh aliansi global dalam menyelesaikan berbagai konflik melalui dialog.
Lantas, apa yang dapat dilakukan Majelis Ulama Indonesia pasca-konferensi tersebut? Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk itu.
Hal pertama yang patut dipertimbangkan adalah, MUI perlu melanjutkan konferensi internasional tersebut secara reguler setiap tahun, dua tahun, atau tiga tahun. Harapan ini berasal dari tidak hanya dari peserta dalam negeri tapi juga dari luar negeri.
Animo duta besar negara sahabat untuk hadir dalam event tersebut juga menjadi tanda bahwa isu ‘agama, perdamaian, dan peradaban’ sangat strategis untuk dibahas secara kontinu.
Pada konferensi internasional yang lalu, total peserta yang hadir 301 orang dengan peserta asing 31 orang dari 21 negara. Selain itu, berasal dari unsur MUI (Dewan Pertimbangan, Dewan Pimpinan, Komisi/Badan/Lembaga, MUI Provinsi), ormas Islam, ormas lintas-agama, perguruan tinggi, LSM, dan kedutaan asing. Dari sisi peserta yang beragam tersebut menunjukkan bahwa MUI diterima dan diharapkan sebagai solusi bagi problem global.
Pada konferensi tersebut, sponsor kegiatan terdiri dari Rabithah Alam Islami, Masyarakat Ekonomi Syariah, Kementerian BUMN, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Agama (Dirjen Bimas Islam), Bank Bukopin Tbk, Kementerian Parekraf, BAZNAS, Telkom, PT Dharma Sarana Niaga, PT Priamanaya Energy, Bank Bukopin Syariah, Wardah, Permabudhi, Rumah Zakat, dan Dinas Parekraf DKI. Diharapkan sponsor tersebut dapat terus meningkat pada konferensi selanjutnya.
Selanjutnya, MUI perlu memainkan khidmah internasional yang terus meluas di berbagai negara. Per 2023 misalnya, Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI juga telah menargetkan untuk menjajaki kemungkinan pembukaan ‘perwakilan MUI’ di beberapa negara sebagaimana amanat dari Munas yang lalu.
Pada 23 Mei 2023, Komisi HLNKI MUI menggelar FGD ‘MUI di Luar Negeri’ yang dihadiri juga oleh Sekjen MUI Buya Dr Amirsyah Tambunan. Saat itu, Buya Amirsyah menyampaikan tentang salah satu orientasi MUI adalah ad-duwaliyah, yakni peran internasional. Artinya, peran-peran MUI tidak hanya di dalam negeri tapi juga untuk memberikan makna dan solusi bagi permasalahan umat Islam di luar negeri.
Dalam FGD tersebut, KH Shalahuddin Al Aiyub, Ketua BPPO MUI menjelaskan bahwa “Hasil Munas di ‘program rintisan’ berbunyi pembentukan kepengurusan MUI di 10 negara sahabat dalam memperkuat hubungan baik umat Islam Indonesia dengan negara sahabat. Program rintisan ini lebih dekat untuk dijalankan Komisi HLNKI.”
Menurut Kiai Aiyub, program rintisan ini memang belum diberikan aturan keorganisasian di AD/ART. Pada pasal 8 dijelaskan ‘susunan MUI berkedudukan di Jakarta’ dan PRT Pasal 1 dibahas juga tentang pembentukan MUI namun belum diatur secara spesifik. Hal pertama yang penting menurut beliau adalah ‘cantolan keorganisasian.’
Sementara itu, Ketua Bidang HLNKI MUI Prof Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan bahwa peran luar negeri MUI itu adalah bagian dari “peran normatif MUI sebagai khodimul ummah dan shodiqul hukumah.” Kata Prof Noto, kita kerap mendapatkan problem dispora dan negara tersebut seperti Islamofobia, diskriminasi, yang beberapa butirnya masuk dalam Deklarasi Jakarta 2023. Untuk itu, Indonesia harus memainkan peran strategis sehingga kehadiran MUI terasa di panggung internasional.
Keikutsertaan MUI dalam merakit kerjasama dengan ulama beberapa negara telah kita mulai. Tiga hari konferensi tersebut telah meyakinkan kita bahwa harapan masyarakat internasional terhadap Indonesia khususnya MUI sangat diakui.
Kehadiran lebih 20 negara semakin membuka peluang kita untuk mempercepat dan mengkonkritkan pola atau format peran-peran MUI untuk ikut serta menyelesaikan berbagai konflik dengan kapasitas yang kita miliki sebagai salah satu dukungan kita terhadap upaya pemerintah untuk penyelesaikan konflik.
Dalam bahasa Prof Noto, “Second track diplomacy MUI untuk keperluan perdamaian dan kemanusiaan perlu kita pikirkan bagaimana langkah kelembagaan. Peran MUI benar-benar sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik.”
Hal ketiga yang tak kalah pentingnya adalah perlunya diseminasi karya ulama Indonesia ke dunia global. Prof. Sudarnoto Abdul Hakim menyebut, “Salah satu yang penting juga adalah kepentingan riset atau akademis.” Karya-karya ulama dan tokoh kita, atau produk MUI, perlu disebarkan kepada masyarakat internasional. Perlu penerjemahan karya dan produk MUI sehingga masyarakat internasional dapat memahami itu dengan baik.
Saat ini, Komisi HLNKI MUI sedang dalam proses penerjemahan buku Diplomasi Wasathiyyatul Islam MUI ke bahasa Inggris dan Arab. Hal ini akan jadi sumbangan terutama bagi akademisi untuk mengetahui produk intelektual kita.
Terkait dengan itu, konferensi ini juga akan menerbitkan Prosiding Konferensi Internasional. Prosiding ini diharapkan dapat menyebarkan pemikiran para peserta terkait tema besar agama, perdamaian, dan peradaban. Selain penerbitan prosiding ini, sesungguhnya penerbitan berbagai karya ulama, tokoh, dan cendekiawan MUI penting untuk diterbitkan dalam bahasa asing.
Imam Masjid Istiqlal, KH Prof Nasaruddin Umar pada sesi pleno 21/5/2023 bahkan memotivasi agar para ulama Indonesia menulis karya yang diterjemahkan ke bahasa asing, dengan demikian karya ulama Indonesia dibaca bahkan menjadi rujukan masyarakat dunia secara lebih massif. Artinya, buku-buku karya ulama kita patut untuk disebarkan lebih luas sebagaimana di masa lalu banyak ulama kita yang menulis dan tulisannya menjadi rujukan sampai hari ini.
Kemudian, penting adanya sinergi antara pemerintah dengan MUI dalam menyelesaikan problem global kontemporer. Jika melihat dokumen G20, ASEAN Summit 2023, serta G7 (dihadiri juga Presiden Jokowi sebagai undangan), ada banyak sekali problem internasional yang menarik untuk disolusikan dalam perspektif ulama. Sebagai pemimpin civil society, MUI dapat memberikan insights serta langkah-langkah solutif bagi berbagai masalah tersebut dari sudut keagamaan.
Pada Komunike Pemimpin G7 Hiroshima (20 Mei 2023) misalnya, para pemimpin tersebut memulai dengan urusan perdamaian, khususnya dalam perang Rusia-Ukraina. Isu-isu seperti ‘menuju dunia tanpa senjata nuklir’ dan ‘keamanan mutlak bagi semua’ adalah seruan yang sangat ideal namun perlu diturunkan dalam langkah-langkah nyata. Penyelesaian sengketa secara damai (poin 6) juga sangat relevan tidak hanya bagi kepentingan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, inklusif, dan aman bagi relasi antarnegara, tapi juga dalam peran-peran tokoh agama global.
Satu hal yang cukup penting bagi tokoh agama dalam menciptakan perdamaian global adalah bagaimana menyerukan kepada negara-negara di dunia agar menjaga stabilitas dan membangun hubungan konstruktif jangka panjang dengan negara lainnya. Dinamika antara AS versus China sejauh ini masih memanas, apalagi China juga belakangan meningkatkan hubungan diplomatik dengan Rusia. Menyadari itu, G7 misalnya menyerukan agar China menekan Rusia agar menghentikan agresi militernya.
Memang tidak mudah bagi China untuk melakukan itu, sebab China dan Rusia adalah satu blok dalam melawan //’collective west’// yang dianggap ingin mempertahankan hegemoni dan dominasi global. Ketegangan AS vs China ini juga terkait dengan dinamika di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Kapal perang AS beberapa waktu lalu berlayar di Selat Taiwan setelah China menggelar simulasi perang menyerang Taiwan sebagai respons terhadap pertemuan Presiden Taiwan dengan pejabat AS di Los Angeles.
Dinamika-dinamika ini terlihat sangat cepat dan nyaris belum bisa diprediksi, namun kata Presiden China Xi Jinping ‘China harus memiliki keberanian untuk berperang’ seakan menyiratkan bahwa potensi konflik terbuka ini patut untuk direspons tokoh agama juga secara arif dengan bagaimana agar konflik tersebut dapat dikelola menjadi kekuatan bersama untuk menciptakan dunia damai, bukan dunia perang.
Peran tokoh agama pada akhirnya perlu berjalan simultan: tidak lagi sekadar berfokus pada penguatan internal atau sinergi lintas-agama tapi juga perlu pro-aktif menjadi penyeru bagi perdamaian, dan sebisa mungkin berdampak bagi pengambil keputusan. Langkah-langkah ini perlu dilakukan sesuai dengan peran MUI sebagai shadiqul hukumah dan khadimul ummah.
Peran perdamaian MUI
Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi payung ormas-ormas Islam Indonesia diharapkan dapat memainkan peran-peran strategis sebagai mitra pemerintah //(shodiqul hukumah)// dengan memberikan berbagai //insights// terkait perdamaian, serta menjadi pelayan masyarakat (khadimul ummah) dengan menyebarkan semangat perdamaian kepada seluruh masyarakat.
Wakil Ketua Umum MUI KH DR Marsudi Syuhud dalam sambutan konferensi internasional 21 Mei 2023, menyampaikan visi penting MUI untuk meningkatkan kesadaran manusia akan perdamaian menghadapi masa depan dunia yang tidak stabil dengan ancaman perang di negara-negara Islam maupun lainnya.
Kiai Marsudi menyentuh kesadaran kita bahwa, “Kita semua merasakan konflik yang berat dan belum terselesaikan di bagian dunia ini, dalam beberapa hal mereka merasakan rasa sakit ini, dan penderitaan semua orang yang telah kehilangan nyawa mereka dalam perang dan konflik yang tidak masuk akal ini, begitu banyak korban perempuan dan anak-anak dan penghancuran tatanan sosial.” Dalam konflik kita kehilangan kemanusiaan kita, kasih sayang kita, rasa hormat kita, kita kehilangan rasa toleransi kita kepada sesama manusia.
Pengutamaan nilai-nilai universal menjadi penting.
Kiai Marsudi menyebut, “Dan saya yakin untuk menyelesaikan masalah yang sangat rumit ini salah satunya adalah dengan mengutamakan dan mengamalkan nilai-nilai universal agama yang kita anut, serta nilai-nilai luhur budaya kita yang terus kita amalkan secara turun-temurun, seperti nilai-nilai “Bhineka Tunggal Ika.” Artinya, common values kita di Indonesia atau di tingkat dunia penting untuk ditemukan, bahkan dijaga dan dijadikan pijakan dalam interaksi lintas-negara untuk mencapai perdamaian.
Dengan demikian, semangat damai itu tidak hanya menjadi milik masyarakat kita tapi diharapkan juga dapat terus disebarkan kepada masyarakat dunia dimana masyarakat kita terkoneksi secara komunitas lintas-negara maupun melalui jaringan personal di luar negeri.