Oleh: KH Musthafa Helmy, wartawan senior dan Wakil Ketua Lembaga Pentashih Buku dan Konten Islam (LPBKI) MUI
Berita nasional TVRI hari Senin, 21 Juli 1975 pukul 19.00 memberitakan Presiden Soeharto membuka Musyawarah ulama di Istana Negara.
Dalam pidatonya ia menyatakan: “Tugas para ulama adalah amar makruf nahi munkar. Majelis Ulama Indonesia hendaknya menjadi penterjemah yang menyampaikan pikiran-pikiran dan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional maupun pembangunan daerah kepada masyarakat. MUI hendaknya mendorong, memberi arah dan menggerakkan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya, MUI hendaknya memberikan bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah. MUI hendaknya menjadi penghubung antara pemerintah dengan ulama.”
Lalu, pada Berita Nasional TVRI 26 Juli 1975 Ahad malam memberitakan penutupan Musyarawah ulama itu dan pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta terpilihnya Prof Hamka sebagai Ketua Umum MUI secara aklamasi. Acara penutupan itu dihadiri Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Keesokan harinya berita itu ramai menjadi perbincangan orang yaitu kelahiran MUI. Amatan, analisa, komentar bahkan teka-teki bermunculan.
Bisa dimaklumi. Pemerintahan Orde Baru pasca-Pemilu 1971 mulai banyak dicurigai, terutama dengan diajukannya RUU Perkawinan yang penuh konstrofersial dan memunculkan penentangan keras umat Islam sehingga, kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 juli 1975 juga dianggap sebagai upaya mengendalikan umat Islam oleh pemerintahan Orde Baru.
Masyarakat patut curiga melihat perkembangan politik masa itu, Pemerintah ‘menjinakkan’ semua organisasi dengan dalih penyederhanaan, termasuk organisasi politik. Dari 10 partai perserta Pemilu 1971 diciutkan menjadi tiga yaitu Golkar, PPP dan PDI pada Januari 1973.
Disusul 25 organisasi buruh menyatu dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 25 Februari 1973. Para petani pun pada 24 April rame-rame berpayung Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Tak hanya itu para nelayan bergabung di Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Para pemuda digiring masuk Komite Nasional Pemuda Indonesia pada 23 Juli 1973.
Lalu, apa MUI juga mau dijadikan penyatuan ormas-orang Islam. Rabu, 3 Agustus 1975 H. Mahbub Djunaidi kolumnis kenamaan menulis di harian Kompas halaman pertama dengan judul ‘Majlis Ulama, dari Mana mau ke Mana’, seolah mewakili masyarakat. Dia menulis:
“Jadi buruh ltu tidak gampang, begitu juga jadi nelayan. Tapi, apalagi ulama tentu lebih tidak gampang. Lihat dulu ilmunya, kemudian amalnya, dan kemudian pengakuan musyarakat. Itulah sebabnya, mustahil kita mengharapkan semua penduduk dewasa bisa jadi ulama. Lagi pula. memang tidak perlu. Biar dibilang sedikit, asal betul, cukuplah.”
“Yang dibilang ulama ini sekarang simpang siur, ya tidak juga. Namun dirasa perlu juga ada Majelis Ulama, supaya lebih mantap, seperti halnya FBSI atau KNPl atau HNSI ltu. Majelis itu diharap mengikat para ulama dari segala ukuran dan kaliber, sehingga bisa bekerja sama dengan Pemerintah dalam zaman pembangunan sekarang ini. Bukankah peranan ulama ini diperlukan buat menggiatkan pembangunan, bahkan sampai-sampai suksesnya Keluarga Berencana sekalipun. Jangan disebut lagi untuk memelihara kerukunan Agama. Itu sebabnya, dua tahun sesudah KNPI, lahirlah Majelis Ulama di ujung bulan Juli 1975, walaupun di beberapa daerah sudah ada majelis semacam itu di tingkat lokal. Buntut dulu, kepala menyusul.”
Para ulama berkumpul di Jakarta sejak 21 hingga 26 Juli 1975 dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama menghasilkan sebuah piagam berdirinya MUI. Tercatat dalam piagam itu pentingnya persatuan ulama di Indonesia demi mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka “pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa indonesia”. Pesan Presiden Soeharto dalam pembukaan menjadi landasan arah MUI.
Mahbub melanjutkan, “Barang baru namanya, tentu macam-macam penilaian orang. Ada yang spontan menyambut. Ada yang belum paham makna dan tujuannya. Ada yang terheran-heran, misalnya, tatkala melihat foto peserta musyawarah bersama Presiden di koran Kompas, ada yang duduk di lantai seperti lazimnya pemain sepakbola. Padahal, apa anehnya, bukankah Ulama juga bila duduk atau berdiri seperti kebanyakan orang?”
Muncul gagasan menyatukan ulama dalam sebuah wadah sejak 1973. Menteri Agama Mukti Ali melalui Dirjen Bimas Islam secara pribadi mengundang beberapa tokoh Muslim terkemuka, yaitu Mr Kasman Singodimedjo, Buya Prof Hamka, KH Hasan Basri, KH Syukri Gozali, dan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Dalam pertemuan di kediaman Menteri Agama disepakati bahwa MUI berdiri dengan syarat tidak operasional.
MUI tidak berafiliasi kepada golongan politik manapun. MUI tidak akan melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh organisasi Islam lainnya, melainkan hanya sebagai koordinator di tingkat pusat.
Instruksi pembentukan Majelis-Mejelis Ulama tingkat daerah diterbitkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada Mei 1975 dan sebagai tindak lanjut Lokakarya Muballigh seluruh Indonesia.
Pemerintah mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan Majelis Ulama tigkat nasional pada tanggal 1 Juli 1975 dengan menunjuk Letjen (Pur) H Sudirman, Buya Hamka, KH Abdullah Syafii, dan KH Syukri Gozali.
Sewaktu menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia pada tanggal 24 Mei 1975 Presiden Soeharto mengemukakan dua alasan penting pembentukan MUI yakni keinginan pemerintah agar umat Islam bersatu dan kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Dengan kata lain pemerintah memiliki kepentingan agar ulama dan umat Islam secara umum turut berpartisipasi dalam pembangunan.
Ikut melatarbelakangi didirikannya MUI antara lain, di berbagai negara di Asia Tenggara memiliki Dewan Ulama atau Mufti selaku penasehat tertinggi di bidang keagamaan yang memiliki peran strategis.
Kedua, perlunya lembaga yang mewakili umat Islam Indonesia. Ketiga, membantu pemerintah dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam menyukseskan program pembangunan serta jembatan komunikasi antara umara dan umat Islam.
Keempat, sebagai wadah pertemuan dan silaturahim para ulama seluruh Indonesia untuk mewujudkan Ukhuwwah Islamiyah. Kelima, sebagai wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membicarakan permasalahatan umat. Selama lima hari itu para ulama membicarakan bentuk MUI yang berbeda dengan ormas lainnya.
Selanjutnya, kata Mahbub, “Berhubung tiap organisasi keagamaan punya ulama, tentu timbul rupa-rupa persoalan, walau ada pula oknum-oknum mereka ada yang duduk di Majelis baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Misalnya, persoalan, apakah cuma Majelis ulama saja yang punya ‘legalitas’ bergerak ini dan itu? Misalnya, persoalan, apakah rupa-rupa kegiatan musti lewat stempel Majelis ulama? Oh, tidak. Majelis Ulama bukan dimaksud untuk melegalisir sebagian ulama seraya meliarkan sebagian yang lain. Malelis ulama tidak bersifat ‘operasionil’. Artinya, tidak turun kiprah ke lapangan, karena toh itu urusan organisasi-organisasi agama yang ada. Majelis ulama sekedar semacam ‘katalisator’ antara Pemerintah dengan masyarakat, dan membantu Pemerintah dengan rupa-rupa nasehat yang bisa melancarkan roda Pembangunan dalam arti yang luas.”
Dalam kata akhirnya Mahbub menulis: “Integritas Majelis Ulama sepenuhnya akan diukur dari langkah-langkahnya sendiri masa mendatang. Penilaian skeptis dari suatu pihak terhadap Majelis Ulama barangkali karena tidak yakin segalanya bisa berjalan sebagaimana yang tercantum di atas kertas. Ini tidak jadi apa. Waktu dan kesempatan terbuka buat Majelis Ulama membuktikan bobotnya sendiri. Bebab, walaupun namanya sudah Majelis Ulama, membuktikan bobot itu rupanya masih perlu. Sedangkan eksportir saja perlu, konon pula ulama.”
Deklarasi MUI dihadiri 26 ulama yang mewakili 26 provinsi (kala itu Timor Timur belum jadi provinsi Indonesia), 10 ulama pusat dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, empat orang ulama dari Dinas Rohani Islam empat angkatan dalam ABRI, serta 13 orang dengan reputasi sebagai cendekiawan. Di antara perorangan ini terdapat Kasman Singodimedjo dan Hamka.
MUI menyatakan diri sebagai lembaga yang mewadahi ulama, zuama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Wadah ini menjadi tempat para ulama membahas perkara-perkara umat dan mengeluarkan fatwa terkait hukum dan praktik keagamaan.
Menteri Agama Mukti Ali dan Dirjen Bimas Islam H Kafrawi, MA mendekati Buya Hamka untuk memimpin MUI yang independen dan tidak berada di bawah kontrol pemerintah. Mukti Ali tahu bahwa Hamka tokoh Muhammadiyah yang bisa diterima semua lapisan, termasuk NU. Hamka akhirnya menerima. Kafrawi ditunjuk sebagai Sekretaris Umum.
Hamka bersedia. Alasannya, untuk menghadapi ideologi komunis di Indonesia harus menggunakan ideologi yang lebih kuat yakni Islam dan persatuan. Kedua, untuk memperbaiki hubungan umat Islam dengan pemerintah. Menurut Hamka pemerintah senantiasa bersikap tidak dipercaya terhadap umat Islam sehingga selalu dicurigai betapapun yang dilakukan adalah kebaikan. Pada saat yang sama umat Islam bersikap apriori pada tiap kebijakan pemerintah.
Tempat Bertanya Umat
Berdirinya MUI menjadi berkah bagi umat. Kantornya di sisi timur masjid Al-Azhar banyak menerima kinjungan orang untuk bertanya. Dengan kehadiran MUI masyarakat memiliki tempat bertanya yang layak. Fatwa pertama yang dilahirkan MUI adalah pertanyaan tentang salat jemaah untuk masjid bertingkat.
Fatwa adalah kekhasan MUI. NU memikiki bahtsu masail yang dibuhulkan dalam putusan muktamar dan munas.
Muhammadiyah memilikiki putusan tarjih. Komisi Fatwa pertama MUI dipimpin KH Syukri Gozali, seorang ulama ahli fikih murid KH Hasyim Asy’ari. Komisi fatwa MUI telah menampilkan ulama-ulama besar; KH Syukri Gozali, KH Ibrahim Hosen, Prof Huzaimah T Yanggo, KH Ali Yafie, KH Ma’ruf Amin, KH Anwar Ibrahim dan KH Hasnuddin MF.
Menurut Dr Atho Mudzar dalam desertasinya, terdapat tiga faktor yang turut mempengaruhi fatwa MUI. Pertama, adanya kecenderungan mendukung kebijakan pemerintah. Fatwa tentang peternakan kodok, peternakan kelinci, pemotongan hewan dengan mesin, keluarga berencana dan lainnya.
Kedua, keinginan menjawab tantangan zaman modern seperti fatwa-fatwa dunia kedokteran tentang donor kornea mata dan pencakokan jantung. Ketiga, berkaitan dengan hubungan antaragama. Hingga 47 tahun MUI berdiri, tak terhitung jumlah fatwa yang dikeluarkannya.
Tak hanya fatwa. Mungkin patut dicatat juga bahwa MUI pada 8 Oktober 1977 pernah meminta kepada Presiden Soeharto untuk memberi penghargaan kepada orang asing yang berjasa membantu kemerdekaan RI di masa lalu, antara lain Mufti Palestina Amin Husaini.