Oleh: Bunyan Saptomo, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri MUI dan mantan dubes RI di Sofia
November mempunyai arti penting bagi bangsa Palestina. Pada bulan ini Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, di pengasingannya di Aljir pada 15 November 1988 menyatakan kemerdekaan Palestina.
Selain itu, pada November ini banyak resolusi PBB yang menegaskan dan mendukung hak rakyat Palestina, yang terpenting a.l. Resolusi 3236 Tanggal 22 November 1974 dan Resolusi 32/40B Tanggal 29 November 1977.
Resolusi 3236 menegaskan pengakuan PBB atas hak bangsa Palestina, termasuk hak menentukan nasib sendiri dan kembali ke tanah kelahirannya. Sedangkan Resolusi 32/40B menyerukan ke masyarakat internasional untuk memperingati 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional untuk rakyat Palestina.
Tanggal 29 November juga punya arti penting bagi bangsa Palestina karena pada tanggal tersebut Palestina diterima sebagai “Negara Observer” di PBB.
Meskipun PBB telah menetapkan 29 November sebagai Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina, namun kurang terlihat adanya semangat masyarakat internasional, termasuk masyarakat Indonesia, untuk melakukan aksi solidaritas tersebut.
Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, di tingkat internasional isu Palestina tahun ini tertutup oleh isu lain yang lebih menarik, utamanya isu tentang konflik Ukraina yang mempunyai dampak luas di tingkat global.
Kedua, tampaknya cengkeraman Israel atas Palestina semakin kuat, sehingga kegiatan perlawanan bersenjata, unjuk rasa dan penyebaran informasi Palestina dapat diminimalkan oleh Israel. Ketiga, di Indonesia isu Palestina tahun ini tertutup oleh isu tentang presidensi Indonesia di G20 (yang juga terkait dengan konflik Ukraina), isu tentang capres 2024, isu tentang kasus Sambo, dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu, momentum bulan November ini perlu dimanfaatkan untuk terus menggalang solidaritas internasional kepada bangsa Palestina. Mengapa masyarakat Internasional, termasuk Indonesia, perlu terus galang solidaritas pada bangsa Palestina?
Pertama, Palestina adalah satu-satunya bekas wilayah perwalian PBB yang belum merdeka. Meskipun telah menyatakan kemerdekaannya pada 1988, dalam kenyataannya Palestina hingga kini masih dalam cengkeraman penjajah Zionis Israel.
Bahkan semakin hari cengkeraman penjajah Israel tampak semakin kuat sejalan dengan keberhasilan Israel memastikan jaminan dukungan Amerika dan menjalin hubungan diplomatic dengan sejumlah negara Arab.
Kedua, menggalang solidaritas Palestina ini merupakan amanat PBB sesuai dengan resolusi 1977. Resolusi tersebut dikeluarkan Majelis Umum PBB, setelah banyak resolusi yang terkait dengan Palestina tidak dipedulikan Israel.
Semua resolusi PBB tersebut konsisten dengan hukum internasional. Jadi amanat Majelis Umum PBB tersebut juga merupakan upaya untuk terus menegakkan hukum internasional, termasuk hukum HAM internasional.
Ketiga, akibat dari penjajahan Israel tersebut kondisi bangsa Palestina semakin terpuruk.
Meskipun sesuai dengan Perjanjian Oslo 1993 telah dibentuk Otoritas Palestina lengkap dengan Presiden, Perdana Menteri dan para menterinya, namun dalam kenyataan kekuasaan atas wilayah, keamanan dan ekonomi masih di tangan Israel. Wilayah Palestina bagaikan penjara besar yang dikepung tembok dan pasukan keamanan Israel. Penjajah Israel bisa seenaknya mengambil tanah rakyat Palestina untuk perumahan dan kepentingan pendatang Yahudi dari luar negeri. Rakyat Palestina tidak bisa keluar dari wilayahnya tanpa izin (melalui pemeriksaan) aparat Israel.
Nelayan Palestina di Jalur Gaza (wilayah Palestina yg punya laut) tidak boleh melaut melampaui 12 mil dari pantai Gaza. Bahkan dalam kondisi darurat (versi Israel) nelayan Palestina tidak boleh melaut melampaui 3 mil dari pantai.
Penjajah Israel telah melakukan politik apartheid sebagaimana ditulis mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter. Akibat penjajahan dengan politik apartheid selama lebih dari 70 tahun tersebut telah menimbulkan kesenjangan yang menyolok dalam kondisi ekonomi dan sosial rakyat Palestina dan Israel.
Hal ini terlihat dari perbandingan GDP perkapita Israel dan Palestina. Pada 2021 GDP perkapita Israel tercatat US$ 51.430. Ini 14x lebih besar dari GDP perkapita Palestina (3.663 dolar AS). Ketimpangan ini diperkirakan akan semakin besar bila penjajahan masih berlanjut.
Keempat, semakin merosotnya perhatian internasional terhadap isu Palestina. Amerika dan negara Eropa yang sebelumnya punya perhatian dan pengaruh untuk menginisiasi perdamaian Timur Tengah, dalam beberapa tahun terakhir sudah tidak nampak ada perhatian lagi, lebih-lebih setelah meletus perang di Ukraina.
Sementara itu Liga Arab dan OKI yang selama ini menjadi pendukung setia Palestina juga mengalami perpecahan karena semakin banyak anggotanya yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Walaupun KTT Liga Arab di Algier baru-baru ini sepakat utk mewujudkan kemerdekaan Palestina dan mendorong perundingan damai Arab-Israel, namun diperkirakan kesepakatan tsb sulit utk dilaksanakan, karena perpecahan di Liga Arab semakin dalam.
Mungkin karena alasan semakin merosot dukungan untuk Palestina itu, PM Palestina Muhammad Shtayyeh dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini menyatakan bahwa yang diperlukan dari Indonesia adalah dukungan, bukan sebagai “mediator” konflik Israel-Palestina.
Bagaimana dengan posisi Indonesia? Selama ini Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina atas dasar beberapa alasan. Pertama, karena amanat Konstitusi sebagaimana sering disampaikan oleh Pemerintah RI. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bangsa Indonesia untuk berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia dan menghapus penjajahan.
Kedua, karena bangsa Indonesia hutang budi kepada Palestina. Ketika Indonesia sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaan, pada 1944 Mufti Palestina Sheikh Amin Al-Husaini menyatakan dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia dan melobi anggota Liga Arab untuk mendukung kemerdekaan Indonesia tersebut.
Ketiga, alasan terkait dengan status Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan Indonesia sebagai anggota klub 20 ekonomi terbesar di dunia (G20). Status ini membawa beban moral bagi Indonesia untuk membantu bangsa lain yang dalam posisi lebih menderita, termasuk Palestina.
Posisi pemerintah Indonesia yang konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina tersebut perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Pemerintah perlu terus mendorong dan menfasilitasi organisasi kemanusiaan dan ormas Islam yang selama ini aktif membantu Palestina utk meningkatkan bantuannya.
Alhamdulillah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi payung umat Islam Indonesia telah komitmen untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Hebron (RSIH) yang insya Allah akan segera mulai dibangun.
Pemerintah dan ormas Islam juga perlu meningkatkan upaya untuk mendorong masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang paling pemurah di dunia untuk membantu Palestina. Peran serta masyarakat Indonesia akan sangat penting dalam upaya untuk mensukseskan “diplomasi tangan di atas” dan membawa nama Indonesia semakin harum di forum internasional.