Oleh: KH Nurul Badruttamam, Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI
Ada yang sedang tidak baik-baik saja dengan akhlak bangsa kita. Setidaknya itulah yang saat ini menggelisahkan pikiran saya saat mendengar kasus perundungan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Tangerang dan teranyar di Jawa Timur.
Kasus ini mengemuka setelah nyawa salah satu santri melayang, pelakunya bahkan teman-temannya sendiri, anak-anak di bawah umur yang usianya masih belasan tahun.
Padahal belum lama kita juga mendengar kasus serupa, ramai diperbincangkan di media. Seorang anak meninggal dunia setelah kasus perundungan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi.
Betapa seringnya kita mendengar adanya perilaku serupa di sekolah, di pesantren di lembaga pendidikan yang membuat kita tak habis pikir bagaimana mungkin anak-anak usia belasan bisa melakukan tindakan sedemikian rupa hingga menghilangkan nyawa temannya. Krisis akhlak betul-betul di depan mata.
Rentetan kejadian perundungan agaknya perlu kita cermati secara serius, jangan sampai pembiaran terhadap masalah ini akan menjadi bom waktu di kemudian hari.
Benang kusut terjadinya perundungan ini harus kita urai satu per satu, jangan sampai lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren kembali menjadi lahan subur terjadinya perundungan. Lembaga pendidikan idealnya harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bukan hanya untuk menuntut ilmu, tetapi untuk bertumbuh menjadi sebaik-baiknya manusia yang berakhlak.
Perundungan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengemukakan setidaknya terdapat 119 kasus perundungan pada anak sepanjang 2020. Jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 30-60 kasus per tahun.
Barangkali data ini hanya yang tampak di permukaan saja, bisa jadi angka yang sebenarnya jauh lebih besar, mengingat tidak banyak korban yang berkenan membuat pengakuan.
Bahkan, banyak sekali perundungan yang justru dilakukan oleh anak-anak di sekolah. Kenyataan ini seperti menegaskan sebuah riset yang dilakukan Programmer for International Student Assesment (PISA) pada 2018 yang menunjukkan, angka perundungan murid di Indonesia cukup tinggi mencapai 41,1 persen yang sukses menempatkan Indonesia pada posisi kelima dari 78 negara yang anak didiknya mengalami perundungan di sekolah.
Lebih lanjut dalam sebuah artikel penelitian yang dikemukakan Arina Mufrihah memaparkan pola naiknya perundungan yang terjadi di sekolah. Perundungan terus mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia dan naiknya kelas. Artinya, siswa kelas lebih tinggi lebih banyak melakukan perundungan dibanding siswa pada kelas rendah.
Perundungan sendiri seolah menjadi hal yang terbiasa terjadi. Apalagi sejak mengenal istilah terbawa perasaan (baperan), acapkali lingkungan sekitar menormalisasi adanya perundungan.
Di Institusi pendidikan, kita sering melihat budaya perundungan yang dilakukan secara turun temurun melalui masa orientasi sekolah atau pengenalan kehidupan kampus.
Perundungan yang terjadi pun beraneka ragam dari kekerasan fisik hingga kekerasan verbal. Pelakunya bisa jadi dulunya juga korban, dan terus seperti itu bagaikan siklus.
Berbagai upaya penyelesaian akibat terjadinya kasus perundungan pun dilakukan. Kebanyakan kasus-kasus yang telah memakan korban hingga hilangnya nyawa seseorang diselesaikan dengan jalur kekeluargaan.
Penyelesaiannya pun lebih terkesan dilakukan secara personal daripada secara sistemik. Jalur kekeluargaan ditempuh daripada jalur hukum, mengingat pelaku maupun korban keduanya masih dibawah umur.
Tanpa bisa kita mungkiri, penyelesaian kasus dengan cara ini hanya akan selesai dari permukaan saja, sedangkan jauh dari itu, akar rumput dari masalah perundungan tidak pernah benar-benar tersentuh.
Revitalisasi kurikulum
Kurikulum di Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian, dari kurikulum 1947 (Rentjana Pembelajaran 1947) hingga terbaru Kemendikbudristek kembali mengumumkan kebijakan baru, yaitu penerapan Kurikulum Prototipe yang akan dilaksanakan mulai 2022 hingga 2024.
Sejarah mencatat sudah belasan kali pergantian kurikulum dilakukan, tetapi sampai hari ini lagi-lagi kita masih terus menanti seberapa cesplengnya kurikulum ini dalam mengatasi karut marutnya masalah perundungan di dunia pendidikan.
Kita masih terus berharap, perhatian terhadap masalah perundungan ini jadi prioritas semua pihak agar dapat duduk bersama menghasilkan satu konklusi untuk menggagas kurikukulum berbasis adab dan akhlak secara utuh.
Kurikulum yang menempatkan adab dan akhlak sebagai mata pelajaran yang diajarkan pada peserta didik. Kurikulum yang tidak hanya diajarkan dalam bentuk modul pembelajaran saja, tetapi juga tercermin dalam sikap dan perbuatan.
Dengan begitu, sebuah jaminan akan lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren yang dapat menjadi ruang bertumbuh yang nyaman dan menjamin kesehatan serta kesejahteraan psikologis peserta didik dapat kita wujudkan. Bayang-bayang akan sekolah yang menjemukan serta rapor hitam dunia pendidikan akibat prevalensi angka perundungan dapat kita hentikan. Semoga!