Oleh: Angga Ulung Tranggana, Redaktur MUIDigital
Pandangan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas tentang pentingnya pemerintah memperhatikan kelompok usaha mikro dan ultramikro harus diposisikan sebagai masukan strategis pemerintah Indonesia. Bahkan Buya Anwar mengusulkan klaster baru selain UMKM yang selama ini didengungkan. Masukan strategis itu perlu diperhatikan oleh pemangku kepentingan jikalau ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang benar-benar maju, berkeadilan dan makmur. Sebab, selama Indonesia harus menghadapi gejolak ekonomi, hanya kelompok klaster UMKM-lah yang terbukti tahan banting bertahan.
Kekuatan tahan banting ini tidak hanya terjadi saat Indonesia menghadapi guncangan krisis moneter di tahun 1997-1998. Karena sokongan UMKM, ekonomi Indonesia juga tetap baik-baik saja saat Indonesia menghadapi resesi ekonomi 2008. Bahkan saat pandemi Covid-19, kelompok UMKM juga menjadi tiang pertahanan ekonomi Negara. Padahal sejak tahun 2020 distribusi berbagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) bernilai ratusan triliun belum menyentuh sasaran (kelompok UMKM) secara maksimal.
Data pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UMKM menyebutkan ada 64,2 juta UMKM di Indonesia. Tidak main-main, saat bicara produk domestik bruto ternyata kontribusi UMKM bisa menembus 61,07 persen atau setara Rp8.573 triliun. Bukan itu saja, klaster UMKM juga terbukti menyerap tenaga kerja sebesar 97 persen. KemenkopUMKM juga menyatakan bahwa selama ini klaster UMKM berhasil menghimpun 60,42 persen dari dana total investasi di Indonesia.
Atas dasar realitas inilah, wacana yang disampaikan Buya Anwar Abbas tentang perhatian pada kelompok ekonomi mikro dan ultramikro menemukan urgensinya. Logika berpikirnya sederhana, jika kelompok mikro dan ultra mikro berdaya secara ekonomi maka kedaualatan bangsa Indonesia sudah barang tentu semakin kuat. Jumlah 6 juta kelompok mikro dan ultra mikro yang dicatatat Buya Anwar ini kemudian harus dikerjakan pemerintah secara serius. Alasannya, kelompok mikro dan ultra mikro yang dimaksudkan Buya Anwar adalah mereka yang belum terdata dan masuk dalam terminology dunia wirusaha ala pemerintah.
Menangguhkan UMKM Indonesia
Untuk memperhatikan kelompok UMKM dan ultra mikro seperti yang disampaikan oleh Buya Anwar, pemerintah harus benar-benar sigap merespons. Salah satu langkah strategisnya adalah melakukan pendataan secara maksimal. Tidak boleh lagi pola pendataan yang sekadar formalitas.
Pemerintah bisa melibatkan berbagai elemen seperti BPS, Organisasi masyarakat, organisasi kelompok UMKM untuk melakukan pembaruan data. Keterlibatan elemen sipil ini menjadi penting untuk memverifikasi apakah memang kelompok pelaku usaha khususnya skala ultra mikro sudah masuk dalam catatan data pemerintah.
Dalam era disrupsi seperti saat ini, pendataan UMKM berbasis teknologi informasi menjadi sebuah keniscayaan. Mekanisme dan pola pendataan yang prudent kemudian akan mencegah tidak terdatanya kelompok usaha dalam skala terkecil.
Penggunaan teknologi dengan sistem leveling dan verifikasi ketat akan makin memudahkan pemerintah dalam mendapatkan input strategis. Pemerintah pun akan dengan mudah menentukan berbagai program yang tepat untuk didistribusikan kepada para pelaku usaha. Dengan demikian, tidak ada lagi kelompok mikro dan ultra mikro yang tidak tersentuh oleh pemerintah. Dengan kata lain database para pelaku usaha dan paket kebijakan menangguhkan UMKM adalah dua sisi mata uang, tidak terpisah dan tidak boleh dipisahkan.
Salah satu contohnya, saat ada program kucuran dana berupa subsidi atau jaminan kredit lunak, pemerintah tidak perlu lagi harus mencari tahu apakah kelompok usaha A layak atau tidak. Data base yang kaya informasi ini akan memberi kemudahan pemangku kepentingan dalam menyusun peta biru pembangunan ekonomi berbasis UMKM. Secara khusus, kelompok ultra mikro dalam terminologi Buya Anwar.
Langkah kedua, sistem pendataan yang prudent harus dibarengi dengan bangunan ekosistem pemberdayaan pelaku ekonomi skala kecil. Target konkretnya adalah memberangus kelompok ultramikro menjadi kelompok ekonomi baru yang derajat sosial ekonominya meningkat.
Ekosistem yang dimaksudkan adalah, dengan menghidupkan hasil kerja pendataan UMKM dan Ultra mikro. Bisa dibayangkan jika ekosistem penopangnya melibatkan simpul-simpul penting di akar rumput, seperti perwakilan ormas, organisasi komunitas UMKM dan atau perguruan tinggi.
Sistem itu nantinya tidak hanya melakukan pembaruan data secara periodik, tetapi ekosistem penopang yang diciptakan itu harus konsisten mengaktivasi berbagai program. Misalnya layanan pusat aduan, pusat pendampingan dan berbagai upaya mendekatkan berbagai kebijakan pemerintah pada akar rumput. Dengan demikian, cita-cita mengurangi ketimpangan ekonomi, menumpas kemiskinan bisa direalisasikan secepat-cepatnya.
Dengan pola yang seperti itu, berbagai fakta tentang capaian penyerapan Rp 123,46 triliun dana PEN untuk UMKM tahun 2020 yang tidak lebih dari Rp 60 triliun tidak terjadi. Termasuk data realisasi dana PEN untuk UMKM sebesar Rp 68,35 triliun per September 2021 juga tidak terulang.
I’tikad Baik Pemerintah
Ide konkret yang sudah digambarkan, tidak akan bermakna apa-apa bagi umat, khususnya pelaku UMKM dan ultramikro jika tidak dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Selama ini juga sudah banyak teori, hasil riset di lapangan yang sepertinya hanya menjadi suara yang lantang di permukaan. Saat sampai di meja pemerintah, yang kita dapatkan hanyalah kalimat manis ikhtiyar pemberdayaan dan pembangunan kelompok UMKM.
Sebagai penutup, itikad baik pemerintah dalam mempercepat transformasi pembangunan ekonomi menjadi kunci utamanya. Segudang ide dan sejuta kritik strategis akan menguap begitu saja sejauh pemerintah tidak benar-benar memberi perhatian pada kelompok yang kerap kali diabaikan (UMKM/ultramikro). Berbagai realitas jurang ketimpangan, mengakarnya praktik kemiskinan dan dimilikinya capital oleh segelintir orang akan bisa digerus hanya dengan komitmen dan niat pemerintah memperbaiki fondasi ekonomi bangsa. Wallahu’alam bisshowab.