Oleh: Mahladi Murni
(Anggota Komisi Infokom MUI)
Dulu, ketika media cetak masih merajalela di negara kita, istilah kontra narasi sangat jarang disebut. Sekarang, setelah era digital melanda media, menumbangkan dominasi media cetak, istilah kontra narasi mulai sering disebut-sebut.
Ini karena perang opini di era digital jauh lebih dahsyat ketimbang era media cetak. Jika dulu informasi-informasi terkini baru bisa kita ketahui keesokan harinya, maka kini arus informasi berjalan sangat cepat. Tak perlu menunggu matahari terbit esok hari. Dalam waktu satu detik ke depan, informasi sudah banyak berseliweran.
Bahkan, perang opini semakin dahsyat ketika media sosial ikut masuk ke dalam gelanggang kompetisi arus informasi. Jika sebelumnya pada era media berbasis web kita masih menaruh harapan kepada para jurnalis yang terikat oleh kode etik agar tidak menyiarkan berita bohong, maka sekarang harapan itu sirna.
Sekarang, di era media sosial, semua orang bisa menjadi pewarta sekaligus narasumbernya. Padahal, sedikit sekali dari mereka yang paham UU ITE, apalagi kode etik jurnalistik. Mereka juga awam tentang syariat agama yang mengatur soal cara berkomunikasi yang beradab. Pokoknya, siapa yang pandai berceloteh, dia yang diikuti oleh massa.
Jika dulu para jurnalis harus menunjukkan kartu identitas plus kartu keikutsertaan sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk bisa membuat konten publikasi, sekarang tidak lagi. Semua orang bisa dengan mudah membuat konten publikasi dan menyiarkannya. Bahkan, di “ruang-ruang pribadi” sekali pun, seseorang bisa membuat pemberitaan. Kasus seorang bidan yang mengunggah data pribadi pasien yang belakangan viral hanyalah satu contoh dampak negatif dari kebebasan informasi.
Ketika keran publikasi sudah dibuka seluas-luasnya, maka saat itu pula istilah kontra narasi mulai muncul. Terlalu banyak berita negatif yang harus segera dibuat tandingannya agar ia tidak beredar sendirian. Berita-berita negatif tersebut bisa berupa data yang salah (hoaks), atau sudut pandang dan kesimpulan yang keliru meskipun dikemas dengan data-data yang benar.
Soal vaksinasi Covid-19, misalnya, menurut data Ditjen Aptika Kementerian Kominfo pada pertengahan Agustus 2020, terdapat hampir 2 ribu konten hoaks yang ditenggarai bakal menghambat penanganan krisis Covid-19. Jika konten-konten ini dibiarkan beredar tanpa ada konten tandingan yang menjelaskan keadaan yang sebenarnya, maka masyarakat akan menganggapnya benar. Bahkan, jika konten hoaks ini diulang berkali-kali, maka ia tak sekadar dianggap benar, tapi sudah menjadi kebenaran.
Upaya sistematis untuk mencegah munculnya pemahaman yang keliru dengan cara membuat narasi tandingan ini disebut kontra narasi. Tentu di era digital sekarang kontra narasi tidak mudah. Sebab, pertama, internet sudah menghapus sekat-sekat wilayah, bahkan negara. Bom informasi bisa masuk dari satu negara ke negara lain tanpa bisa dibendung. Perlu diketahui, ada 4,5 milyar penduduk dunia saat ini yang menjadi pengguna internet aktif berdasarkan data weareSocial tahun 2020. Sedang di Indonesia, ada 171,17 juta penduduk dari total 265 juta yang menjadi pengguna internet aktif (data APJII tahun 2020).
Kedua, tindakan menyebarkan informasi negatif dilatarbelakangi banyak hal. Bukan sekadar karena ketidakpahaman, kecerobohan atau ketidaksengajaan, namun juga oleh kesengajaan. Mereka yang sengaja menyebarkan informasi negatif biasanya dilatarbelakangi perselisihan politik, ideologi, persaingan bisnis, atau kecemburuan (iri hati).
Ketiga, karakter masyarakat kita yang memang mudah percaya dan suka ikut-ikutan. Ini semua menambah berat upaya kontra narasi atas informasi-informasi negatif yang beredar.
Dalam praktiknya, kontra narasi harus dilakukan secara cepat. Sudah jamak diketahui bahwa siapa yang pertama membuat narasi maka dialah yang berpeluang untuk menang. Jadi, ketika beredar narasi negatif, segera buat narasi tandingan. Jangan biarkan narasi negatif beredar terlalu lama. Ibarat penyakit, jika tak segera diobati, ia akan susah sembuh.
Namun, kontra narasi juga tak boleh serampangan. Memang harus cepat, tapi tidak boleh tergesa-gesa. Penyakit yang diobati secara tergesa-gesa bisa keliru. Begitu pun narasi yang dibuat secara tergesa-gesa, bisa salah. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah membuat situasi menjadi runyam.
Lakukanlah analisa reaksi publik terlebih dahulu. Jika ternyata publik tak tertarik merespon narasi negatif yang dilontarkan, maka sebaiknya jangan terburu-buru membuat narasi tandingan. Tahan dulu! Justru, jika kita bereaksi berlebihan, publik akan terpancing untuk ikut berceloteh. Suasana yang tadinya hening bisa menjadi ramai hanya gara-gara kita keliru menentukan waktu untuk menimpali.
Adakalanya, narasi tandingan yang kita buat tidak harus berhadap-hadapan dalam satu arus dengan narasi negatif yang ingin kita counter. Biarkan arus mereka mengalir. Kita cukup membuat arus baru yang secara tidak langsung akan melumat narasi negatif tadi.
Misal, dalam kasus vaksinasi yang sempat diisukan haram. Kontra narasi yang dibangun cukup lewat berita ramai-ramai ulama divaksin seperti dilakukan MUI lewat program vaksinasi bersama seluruh pengurus MUI. Kontra narasi seperti ini jauh lebih efektif ketimbang harus menjelaskan nama-nama ilmiah bahan yang digunakan serta proses pembuatan bahan vaksin yang tak semua masyarakat mudeng.
Adakalanya pula kita perlu mengetahui siapa di belakang pembuat narasi negatif tersebut, apa dugaan motifnya, bagaimana komposisi masyarakat yang pro dan kontra, serta narasi negatif apa saja yang banyak digunakan. Mungkin saja narasi negatif yang terbentuk di masyarakat murni karena ketidakpahaman, bukan karena konspirasi. Atau, boleh jadi juga karena keisengan. Semua ini bisa kita ketahui bila kita melakukan analisa terlebih dahulu.
Bagaimana caranya? Cermati arus diskusi di media sosial, terutama twitter. Sekarang, memonitor sekaligus menganalisa arus informasi yang beredar di media sosial dan platform online berbasis teknologi big data sudah sangat mudah. Ismail Fahmi, wakil ketua komisi Infokom MUI telah membuat sistem bernama Drone Emprit. Sistem ini memudahkan kita membuat kontra narasi yang tepat dan cepat.
Ada satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak dalam membuat kontra narasi atas isu negatif yang beredar. Yakni, literasi yang seragam. Keseragaman literasi ini penting untuk membuat asumsi-asumsi yang sama di tengah masyarakat. Jika asumsi berbeda-beda maka akan muncul misinformasi di tengah masyarakat meskipun tanpa disengaja.
Bagaimana membuat literasi yang seragam? Jawabnya, dengan menggunakan strategi narasi tunggal. Artinya, harus ada pihak yang ditunjuk untuk memberikan informasi yang lengkap dan komprehensif. Pihak inilah yang berwewenang mengeluarkan narasi tunggal kepada masyarakat. Jika semua pihak diberikan kewenangan serupa maka narasi yang terbentuk akan berbeda-beda. Narasi tunggal ini akan dijadikan referensi bagi para pemangku kepentingan dalam berkomunikasi kepada publik.
Namun, masyarakat pun bisa berinisiatif membuat kontra narasi yang efektif. Dalam kasus vaksinasi covid-19, misalnya, sempat beredar template “Saya Siap Divaksin” di dinding-dinding akun media sosial masyarakat. Tak tahu pasti siapa yang pertama kali menggagas beredarnya template ini.
Ada yang menebak, ini pekerjaan para tenaga kesehatan, termasuk dokter dan perawat, yang masuk dalam kloter pertama vaksinasi.
Siapa pun penggagasnya, kontra narasi yang amat sederhana ini cukup berhasil “menghibur” masyarakat yang mulai bingung dengan beragam perdebatan seputar vaksin. Masyarakat banyak yang ikut memasang fotonya di template ini.
Gerakan “Saya Siap Divaksin” ini semakin menyebar setelah Presiden Joko Widodo menyiarkan secara langsung proses vaksinasi dirinya menggunakan Sinovac di Istana Merdeka pada pertengahan Januari 2021, diikuti oleh sejumlah tokoh dan perwakilan unsur masyarakat.
Inti dari semua ini adalah bagaimana kontra narasi harus segera dilakukan secara cepat dan tepat. Sekali lagi, di dunia digital, siapa yang pertama mengisi ruang-ruang publik dengan baik maka dialah yang akan menjadi pemenang. Siapa yang terlambat, akan tergilas, meskipun dia benar.
Namun, sebagai penutup, kebenaran tetap harus disuarakan meskipun terlambat dan tergilas. Sebab, cepat atau lambat, kebenaran akan bangkit hingga pada akhirnya akan mengalahkan kebathilan. Allah Ta’ala berfirman dalam Alquran surat Al Isra [17] ayat 81:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap.”
Wallahu a’lam
*) Disampaikan pada acara webinar MUI bekerja sama dengan Kementrian Kominfo bertema Kontra Narasi Penolakan Vaksinasi dan Disiplin Protokol Kesehatan pada 13 November 2021.