Oleh : Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI
BELUM ada yang dapat memastikan kapan Pandemi Covid-19 akan berakhir. Selama hampir dua tahun pandemi berlangsung di Indonesia sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dampaknya tidak hanya negara berkembang seperti Indonesia, juga berdampak pada negara adidaya seperti Amerika Serikat, Eropa, China.
Pertumbuhan perekonomian negara maju seperti di Asia dan Pasifik pada tahun 2021 melambat 2,1 persen, skenario yang lebih buruk minus 0,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi tahun 2019 yang sebesar 5,8 persen.
Secara khusus di Indonesia mengalami permasalahan ekonomi yang krusial karena banyak faktor, antara lain; pertama, pertumbuhan perekomian berbasis pada utang (debt based growth).
Kedua, kemampuan sumber daya alam adan sumber daya manusia yang besar belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembayaran hutang. Ketiga, kemampuan negara untuk meningkatkan stimulus menggerakkan pemulihan ekonomi masih terbatas.
Berdasarkan tiga permasalahan tersebut diperlukan sikap yang extra hati-hati karena utang Indonesia setelah Covid-19 ini diperkirakan mencapai 60 persen dari PDB atau sekitar Rp 9.530 triliun.
Ironinya saat ini telah terjadi depresiasi karena kesulitan Indonesia dalam membayar kewajiban utangnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar ini akan menambah.
Indonesia harusnya belajar pada pengalaman ketika krisis moneter; pertama, pada 1998 tidak begitu berdampak pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kedua, pada 2008 terjadi krisis finansial global, sektor UMKM cenderung masih kuat menghadapi badai krisis tersebut mampu bertahan.
Sebab, saat itu yang terkena imbas terlibat dalam institusi microfinance bahkan UMKM menjadi penyanggah ekonomi nasional karena mayoritas mereka tidak masuk dalam sektor keuangan perbankan (unbankable) yang menjadi beban negara.
Permasalahan tersebut diatas berbeda ketika Pandemi Covid 19 sejak tahun 2020, UMKM justru menjadi sektor yang paling rentan dan terdampak krisis Covid-19, karena terbatasnya aktivitas sosial yang mengakibatkan terhambatnya transaksi ekonomi.
UMKM sulit memasarkan produknya melalui pasar online (market place) dan mahalnya bahan-bahan produksi serta daya beli masyarakat juga menurun. Karenya dalam pemulihan ekonomi harus “bersahabat” dengan pandemi Covid 19.
Kontribusi Ziswaf
Ketika Negara mengalami kesulitan, maka umat berjibaku mengatasi kesulitan ekonomi. Sektor keuangan sosial Islam berkomitmen menghadapi krisis ekonomi melalui Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf). Kontribusi zakat dapat meningkatkan stimulan konsumsi dan produksi mustahik yang menghasilkan permintaan (demand) yang seimbang dengan permintaan (supply) untuk mengembalikan transaksi ekonomi di masyarakat.
Besarnya kontribusi Ziswaf dapat difokuskan untuk pemulihan ekonomi diantarnya; pertama, fakir (ekstreme poor) hanya memiliki pendapatan kurang dari 50 persen kebutuhan hidup layak. Kedua, miskin (poor), kisaran pendapatan mereka sekitar 50-99 persen dari standar kebutuhan hidup layak (had kifayah).
Ketiga, fakir dan miskin (mustahik) ini adalah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Keempat, mendorong para muzaki di atas standar hidup layak (had kifayah) untuk mencapai garis nishob agar membayar zakat. Kelima, menggerakkan wakaf produktik melalui Bank Wakaf Mikro.
Dalam kondisi seperti ini Ziswaf telah berkontribusi yang signifikan. Kebijakan PSBB, PPKM yang berdampak pada aktivitas ekonomi, terutama pada kalangan pekerja rentan dan mustahik telah direspon dengan bijak oleh organisasi pengelola zakat dan wakaf seperti Baznas, BPKH, Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Pada tahun 2018 tercatat ZIS yang dikumpulkan Rp 8,1 triliun yang sebagian besarnya dihimpun dari zakat penghasilan sebesar 40,68 persen. Memang jika dibandingkan dengan potensi zakat sebesar Rp 233,8 triliun (Puskas BAZNAS) realisasinya masih sekitar 3,4 persen.
Masih tingginya gap realisasi dengan potensi tersebut bisa jadi memang karena kedasaran kolektif umat Islam mebayar zakat di Indonesia perlu diedukasi sehingga potensi Ziswaf secara ideal sejalan dengan potensi aktual.
Dari sejumlah hasil studi menunjukkan kurangnya literasi, edukasi untuk mengaktualisasikan poetensi Ziswaf baik penyaluran maupun pengumpulan dana ZIS dari sektor pertanian, peternakan, pertambangan, profesi dsb.
Secara konseptual zakat memang telah berkontribusi membantu mustahik-meningkatkan konsumsi dan penting di fokuskan agar Ziswaf produktif secara agregat meningkatkan pertumbuhan ekonomi khususnya masa pandemi yakni;
Pertama, Baznas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola Ormas Islam dapat merealisasikan program bantuan sosial (social safety net) melalui program cash for work (CFW) yaitu memberikan uang tunai untuk sebuah pekerjaan kepada para pekerja rentan untuk pemulihan ekonomi.
Kedua, pada level UMKM hendaknya Baznas dan LAZ dapat menyalurkan dengan menggunakan voucher atau tiket kepada keluarga mustahik yang membutuhkan.
Ketiga, Baznas dapat melakukan konsolidasi program bersama organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk merealokasi rencana kerja dan anggaran tahunan untuk penanganan dampak Covid-19 terhadap mustahik di seluruh Indonesia.
Keempat, Baznas mendapat mandat dalam UU. No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Nasional yang bertujuan salah satunya adalah meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Sementara wabah Covid-19 ini baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan miskin baru (misbar).
Oleh karena itu MUI bersma Baznas, BPKH, Laznas-Ormas dan BWI telah aktif dalam percepatan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi serta dapat menginisiasi kerjasama strategis pada level kementerian terutama kementerian agama, kementerian sosial, dan kementerian kesehatan melalui pengumpulan Ziswaf.[]