Oleh : Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Thobib Al-Asyhar
Pernahkah anda “merdeka” dari perasaan takut? Jika belum, maka anda sedang “dijajah” oleh perasaan anda sendiri. Takut kehilangan jabatan. Takut kehilangan pengaruh. Takut dikhianati pasangan. Takut dijauhi teman. Takut tidak diterima lingkungan. Takut tidak mendapatkan jodoh. Takut pengalaman masa lalu. Bahkan takut dengan bayangan sendiri.
Rasa takut adalah “penjajah” yang sesungguhnya. Bukan Belanda, bukan pula Jepang. Ya, setiap orang pasti punya masalah. Yang membedakan adalah kadar “rasa takut” masing-masing terhadap apa yang dirasa dan dipikiran. Betapa banyak orang yang pada akhirnya benar-benar hancur karena besarnya “rasa takut” yang diciptakannya sendiri.
Para pejuang kemerdekaan adalah orang-orang yang tidak memiliki rasa takut. Tidak takut sama penjajah yang memiliki senjata modern. Tidak takut kehilangan harapan. Tidak takut pula dengan kematian. Niat dan keberanian menyatu dalam satu tekad bulat melawan kolonialisme. Pilihannya hanya satu: merdeka atau mati. Merdeka akan bahagia. Mati akan dicatat sebagai syuhada.
Sebaliknya, para pengkhianat adalah kaum penakut. Takut hidup miskin. Takut kehilangan kesempatan untuk sejahtera. Juga pasti takut mati. Bagi pengkhianat, kematian dalam perjuangan adalah kesialan yang dijauhi. Kematian adalah kemalangan tak terperi. Kematian akan menghambat keinginan-keinginan duniawi. Dan kematian bagi mereka adalah puncak kegagalan dan penderitaan.
Dalam psikologi, orang yang berlebih rasa takutnya terhadap sesuatu selalu akan muncul perilaku khas. Disadari atau tidak. Sebagai contoh, orang yang sangat takut terhadap kecoak, dia akan teriak histeris. Saat melewati jalanan gelap dilakukan dengan bernyanyi, lari cepat, atau mendengarkan musik dengan ear-phone.
Orang yang sangat takut kehilangan jabatan akan melakukan “apapun” agar jabatan tetap dipertahankan. Orang yang takut dikhianati pasangan akan possesif, mudah cemburu, dan sangat sensitif. Orang yang takut kehilangan pengaruh akan mudah memprovokasi orang lain. Orang yang takut masa lalunya akan trauma sepanjang hidupnya. Dan banyak contoh lain yang kita temui.
Rasa takut yang berlebih sesungguhnya muncul dari perasaan dan pikiran. Ia “bersemanyam” dalam diri yang mewujud semacam “berhala”. Watak dari berhala adalah selalu ingin disembah dan dipuji. Saat rasa takut itu muncul, saat itu pula kita sedang menyembah “berhala”. Semakin besar rasa takut kita, semakin besar pula “berhala” dalam diri kita. Jadi, “berhala” itu akan membesar atau mengecil tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, mengajarkan secara apik bagaimana membentuk jiwa yang seimbang (i’tidal). Untuk menjadi pribadi seimbang (equilibrium), termasuk di dalamnya tidak takut terhadap hal-hal duniawi dengan cara mengembangkan prinsip-prinsip kebaikan (ummahat al-fadlail). Berlebihnya rasa takut adalah gangguan jiwa karena ketidakseimbangan fungsi-fungsi psikis.
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bebas dari rasa takut berlebih. Ia dapat dibentuk dengan menyeimbangkan dua kutub bipolar. Dua kutub yang cenderung berlebihan atau eksesif (ifrat) dengan kutub yang cenderung defisiensif (tafrit) yang saling bertentangan, sehingga lahir sikap dan perilaku yang seimbang. Untuk menyeimbangkan itu tentu dibutuhkan latihan-latihan.
Dengan kata lain, jiwa kita akan sehat jika kita bisa mengharmoniskan atau menyeimbangkan empat elemen dasar di dalam diri kita, yaitu; kekuatan akal (aql), kekuatan marah (ghadab) dan kekuatan libido (syahwat). Di samping juga kontrol rasio dan prinsip-prinsip agama terhadap kekuatan amarah dan syahwat.
Al-Ghazali menyarankan bahwa untuk menyeimbangkan kekuatan dan kecenderungan di atas, dapat dicapai dengan cara mengembangkan empat induk kebajikan (ummahat al-fadail atau The Core of Virtue). Keempat sikap tersebut adalah: al-hikmah (wisdom), al-syaja’ah (courage), al-‘iffah (temperance), dan al-‘adl (justice).
Satu sikap yang paling menonjol untuk mengatasi rasa takut berlebih adalah mengkerasi keberanian. Para pejuang kemerdekaan adalah mereka yang telah mampu mengkonversi keberanian (al-syaja’ah) menjadi kekuatan diri yang luar biasa. Untuk melawan rasa takut kehilangan jabatan harus diimbangi dengan keberanian kehilangan apapun. Bukankah manusia pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa?
Untuk menghindari rasa akut kehilangan pengaruh harus dilawan dengan insight bahwa kekuasaan hanya milik Tuhan. Untuk mengurangi rasa takut dikhianati pasangan harus berani memberikan kepercayaan kepada pasangan. Untuk menghilangkan rasa takut dijauhi teman harus mampu berpikir positif kepada orang lain. Untuk mengurangi rasa takut tidak mendapatkan jodoh harus ditambah keimanan bahwa jodoh semua ada yang mengatur dan dibutuhkan upaya. Agar tidak terpenjara rasa takut masa lalu harus berani mengubah mindset.
Keberanian merupakan kekuatan amarah (ghadab) yang melahirkan daya juang dan semangat (enthusiasm). Sebuah kondisi seimbang (equilibrium) antara sikap pengecut (jubn) dan sikap ceroboh atau nekat (tahawwur). Sikap berani merupakan kekuatan dan kemampuan kontrol akal terhadap gejolak emosi.
Melalui sikap pemberani ini akan muncul sikap (indikator) lainnya seperti sikap stabil, memiliki kemuliaan, ksatria, memiliki daya tahan, berjiwa besar, penuh kerelaan, suka menolong, berbudi luhur, dan memiliki sikap yang lemah lembut. Energi negatif dalam bentuk rasa takut duniawi yang berlebih perlu diimbangi dengan energi positif dalam bentuk keberanian agar jiwa menjadi seimbang.
Apakah sampai hari ini kita sudah merdeka dari perasaan takut? Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar, penulis merupakan Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia