Oleh : Mujahidin Nur, Anggota Komisi INFOKOM, MUI.
Pasca Patient Zero Covid-19 ditemukan menjangkiti masyarakat Wuhan pada 31/12, 2019 lalu. Pimpinan teknis WHO, Maria Van Kerkhove memimpin langsung investigasi ke Wuhan untuk memastikan apakah Patient Zero itu benar-benar muncul dari Wuhan? Apakah benar Patient Zero terinfeksi karena melakukan kontak dengan pasar hewan di Huanan yang diduga menjadi sumber penyebaran virus itu? Ataukah virus Covid-19 sebenarnya bukan dari Wuhan? Wuhan hanyalah klaster baru dari wilayah lain yang sebelumnya sudah terjangkit virus. Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, virus Covid-19 sudah menyapu seluruh penjuru dunia, tak terkecuali negara-negara dengan mayoritas berpenduduk muslim seperti; Malaysia, Brunai Darusalam, Mesir, Qatar, Sudan, Mesir, Indonesia dan lain-lain. Menurut data yang dikumpulkan oleh www.worlddomatters.info kini 206.156.102 juta manusia di dunia telah terinfeksi virus ini dan 4.346.673 juta telah meregang nyawa.
Masyarakat dan pemerintah di berbagai negara bahu membahu untuk menanggulangi pandemi ini. Berbagai usaha yang bisa mencegah penyebaran virus ini mereka lakukan. Namun dari sekian banyak usaha yang dilakukan masyarakat, acapkali media massa kurang memberi perhatian lebih pada peran penting ulama dalam membantu pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan posisi strategis fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai negara muslim, termasuk didalamnya fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam usahanya untuk mencegah persebaran Covid-19. Sebagaimana kita juga dapat melihat lembaga-lembaga fatwa keagamaan negara lain seperti Yordania, Arab Saudi, Mesir, Indonesia dan lainnya. Fatwa-fatwa mereka seakan saling melengkapi satu sama lain.
Dairatul Iftaa’ Yordania, misalnya, mengeluarkan banyak fatwa terkait penanggulangan pandemi Covid-19, yang menyangkut berbagai aspek. Keputusan Nomor 283 tanggal 19 Maret 2020 menyebutkan, seseorang yang meninggal karena virus Covid-19 hendaklah dimandikan, dikafani, dan dishalati dengan penuh kehati-hatian selama tidak membahayakan kepada orang lain yang memandikan, mengkafani, dan menyalati. Jika tidak maka dipasrahkan kepada petugas jenazah sebisanya saja, walaupun sekedar dengan memercikkan air. Proses menshalati korban corona tidak harus dilakukan dalam satu tempat yang sama. Boleh terpisah dengan menjaga jarak.
Persoalan menjaga jarak demi menanggulangi penyebaran virus menjadi perhatian penting. Keputusan Nomor 293 tanggal 2 November 2020 tentang Hukum Orang Yang Mengetahui Dirinya Terjangkiti Corona dan Menyebabkan Perpindahan Penyakit pada Orang lain, menyatakan bahwa barang siapa yang terjangkiti Covid-19 maka diharamkan bercampur baur dengan orang-orang lain, supaya tidak menjadi sebab bagi penyebaran penyakit dan menimpakan mudharat pada mereka. Membahayakan keamanan negara, kesehatan, dan ekonomi adalah bagian dari perkara yang dapat menghancurkan kemaslahatan umat dan negara.
Dairatul Iftaa’ Yordania juga memberikan fatwa bahwa menjaga keselamatan nyawa dianggap nomor satu dan harus didahulukan. Pandangan ini terlihat dari Fatwa Nomor 3572 tertanggal 3 Juni 2020 tentang Gugurnya Salat Jumat pada Masa Pandemi Covid-19. Fatwa ini menyebutkan bahwa salat Jum’at tidak wajib bagi orang-orang yang dikhawatirkan terjangkiti penyakit yang menyebabkan kematian, terutama bagi lansia yang usianya di atas 50 tahun. Sebagian fuqaha’ menyatakan bahwa takut jatuh sakit sudah cukup menjadi alasan untuk menggugurkan salat Jumat.
Karena begitu seriusnya menyikapi pentingnya keselamatan dan kesehatan, maka model pencegahan pandemi menggunakan tes Swab juga diperhatikan. Ulama Yordan mengeluarkan Fatwa Nomor 3570 tanggal 24 April 2020 tentang Hukum Swab, bahwa swab di bulan Ramadhan tidak membatalkan puasa. Dengan begitu, umat muslim tidak punya alasan untuk tidak melakukan tes swab pada bulan Ramadhan. Ditambah, Fatwa Nomor 3594 tanggal 3 November 2020 tentang hukum baca qunut dalam shalat selama pandemi, menerangkan bahwa membaca qunut adalah sunnah, baik pada saat mengerjakan shalat fardhu lima waktu maupun shalat Jumat, baik saat shalat sendirian maupun saat shalat berjamaah.
Begitupun ketika Kementerian Urusan Islam, Dakwah dan Penyuluhan Arab Saudi mengajukan pertanyaan seputar bagaimana pelaksanaan shalat tarawih selama bulan Ramadhan pada masa pandemi, Grand Mufti Arab Saudi Syeikh Abdul Aziz Ali Syeikh mengatakan bahwa pelaksanaan shalat taraweh dilakukan di rumah masing-masing, karena adanya udzur untuk mengerjakannya di masjid dikarenakan pandemi. Pelaksanaan di rumah tetap mendapatkan fadhilah Qiyamul Lail bulan Ramadhan, ditambah lagi Nabi saw juga mengerjakan Qiyamul Lail bulan Ramadhan di rumah, apalagi shalat taraweh adalah sunnah bukan wajib.
Kebijakan Kerajaan Arab Saudi pun sangat ketat terkait penanggulangan dan pencegahan penyebaran Covid-19. Misalnya terkait pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 mereka menerapkan kebijakan “Hajj Mahdud” (Pelaksaan Terbatas), di mana jumlah mereka yang menunaikan ibadah haji tidak sampai 10 ribu dan itupun dari Saudi sendiri, bukan jamaah asing. Kemudian, untuk tahun 2021 M/1442 H., ibadah haji akan diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Semua itu tentu saja demi untuk keselamatan dan keamanan.
Menjaga keselamatan dan kesehatan diri sangat penting, karena hanya dalam kondisi tubuh yang sehat maka seseorang mampu menjalankan kehendak Allah SWT. Karenanya, Mufti Mesir Syauqi Allam dari Darul Iftaa’ Mesir mengatakan bahwa vaksinasi (akhdzu al-laqah) untuk melawan virus Covid-19 adalah wajibun syar’iyun (wajib syar’i). Sebab, hal yang paling penting untuk menjaga diri dari menderita penyakit di zaman sekarang lantaran adanya pandemi Covid-19 maka menempuh segala cara untuk menjaga diri dari wabah adalah perkara sangat penting, termasuk berobat menggunakan obat (vaksinasi) yang mampu mengamankan manusia dari ancaman pandemi pada akhirnya menjadi wajib syar’i.
Khusus terkait vaksin ini, ulama Mesir menyadari tentang adanya materi tertentu yang berasal dari babi. Karenanya, Darul Iftaa’ Mesir segera menyikapinya dengan mengeluarkan fatwa bahwa penggunaan vaksin yang mengandung unsur babi dibolehkan selama unsur tersebut telah berubah tabi’atnya menjadi materi lain yang berbeda dan baru. Perubahan dari satu wujud ke wujud lain dalam pembuatan vaksin membuat unsur babi tersebut sudah tidak lagi disebut sebagai babi yang diharamkan oleh al-Quran. Karenanya, vaksin yang demikian sudah dapat digunakan untuk pengobatan Covid-19 maupun penyakit lain.
MUI sendiri, sebagai lembaga yang mempunyai otoritas fatwa di Indonesia selama dua tahun ini telah secara aktif terlibat menanggulangi penyebaran virus Covid-19, baik secara langsung maupun tidak. Selain peran strategis MUI dalam melakukan aksi-aksi di lapangan. MUI juga menerbitkan fatwa-fatwa keagaman sejak awal pandemi yang tentu saja menjadi rujukan utama bagi pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 yang memberikan aturan mekanisme ibadah di masa pandemi Covid-19 misalnya. Dalam fatwa itu MUI menjelaskan kewajiban setiap orang untuk melakukan ikhtiar maksimal untuk menjaga kesehatan dan menjauhi segala sesuatu yang diyakini bisa menjadi penyebab dirinya terpapar virus. Karena ini merupakan tujuan pokok beragama (dharuriyat al-khams).
Pasca terbitnya otorisasi keamanan dan manfaat antivirus SARS Cov-2 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), MUI juga mengeluarkan fatwa No. 2 tahun 2021 yang menegaskan bahwa hukum Syariah vaksin Sinovac itu suci dan halal. Fatwa tersebut pada akhirnya menghentikan polemik yang berkembang di tengah masyarakat mengenai halal dan tidaknya vaksin Sinovac.
Dalam kaitannya dengan Vaksin Astra-Zeneca yang diproduksi oleh perusahaan farmasi multinasional yang dikenal mempunyai portfolio produk untuk sejumlah penyakit seperti; kanker, kardiosvakular, pencernaan, infeksi syaraf dan lain-lain, MUI merilis fatwa bernomer 14 tahun 2021 tentang hukum penggunaan vaksin produksi Astra-Zeneca karena beberapa hal; Pertama, ada kebutuhan yang mendesak yang menduduki dharurat syari. Kedua, ada keterangan dari para ahli yang kompeten tentang adanya resiko bahaya yang fatal apabila tidak dilakukan vaksinasi. Ketiga, ketersediaan vaksinasi yang halal dan suci tidak cukup guna melakukan vaksinasi sebagai ikhtiar melakukan kekebalan kelompok (Herd Immunity). Keempat, pemerintah tidak mempunyai keleluasaan memilih jenis vaksin Covid mengingat keterbatasan vaksin yang tersedih di Indonesia maupun di tingkat global.
Dari semua fatwa ulama-ulama di berbagai negara muslim tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Covid-19 adalah virus berbahaya yang bukan hanya memerlukan penanganan secara medis, namun juga membutuhkan peran maksimal dan penting para ulama melalui lembaga-lembaga fatwa. Para ulamalah yang bertugas menjaga kehidupan dan keselamatan manusia dari perspektif agama. Berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama melalui lembaga fatwa mereka menuntun dari hulu sampai ke hilir tentang bagaimana idealnya upaya penanggulangan pandemi ini. MUI dan lembaga fatwa dunia lainnya memberikan kontribusi yang besar dalam penanggulangan pandemi Covid-19 mulai dari urusan pencegahan hingga pentingnya penyembuhan. Melalui mereka kita mengetahui bahwa keselamatan nyawa dan kesehatan tubuh harus dinomorsatukan, karena hanya dengan begitu maka perintah agama bisa dikerjakan.