Oleh: Buya Amirsyah Tambunan, Sekretaris Jenderal MUI
Hijrah Nabi Muhammad SAW sebagai momentum terpenting dalam penanggalan Islam di masa Umar bin Khattab, sebagai khalifah. Umar tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat Nabi, beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Pertama, ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah.
Kedua, mengusulkan, awal diutusnya Muhammad SAW sebagai Rasul yang merupakan waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Ketiga, ada yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam. Akhirnya usul Ali bin Abi Thalib diterima dalam peristiwa Hijrah tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M.
Memaknai sejarah hijrah meminjam ungkapan Fazlur Rahman sebagai the founding of Islamic Community seperti dideskripsikan bahwa peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender and the founding of Islamic Community. menyebut hijrah sebagai tahun (periode) awal kalender Islam dan berdirinya Komunitas Islam. Sedangkan Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, adalah proklamasi tentang terbentuknya umat dan bangsa.
Karena hijrah bukanlah pelarian, sebagai akibat, takut terhadap kematian, karena tidak mungkin Rasulullah takut terhadap kematian. Akan tetapi Rasulullah SAW berkomitmen mempertahankan eksistensi kaum Muslimin di Makkah, karena situasi menyulitkan kaum Muslimin di waktu itu, berjumlah 100-an orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di musim haji.
Hijrah Transformatif
Peristiwa hijrah ke Madinah terdapat mata rantai sejarah agar kita senantiasa mengambil hikmah melalui mentransformasikan nilai-nilai ajaran Rasulullah SAW yang merupakan sunnatullah dan sunnah Rasul. Serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah SAW penting untuk kita transformasikan dalam kontek kekinian yakni:
Pertama, adalah transformasi keumatan misi utama hijrah Rasulullah beserta kaum Muslimin adalah untuk pelindungi umat (himayatul ummah) dari kezaliman melalui penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil menuju keadilan. Pada spektrum ini, orientasi keumatan mengadakan suatu transformasi keadilan dalam bidang hukum, ekonomi dan politik, dan lain-lain. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah SWT mewajibkan mereka untuk hijrah. Dalam Alquran surat An-Nisa ayat 97-100, Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
فَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).
Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Mahapemaaf lagi Mahapengampun.
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”
Di masa pandemi Covid 19 tujuan hijrah sangat relevan agar manusia dapat mentransformasikan nilai-nilai kemanusian yang keadilan dan beradab kepada terkena dampak Covid-19.
Kedua, transformasi kepemimpinan yang di dalamnya berlangsung tatanan masyarakat yang awalnya mengalami distorsi moral, dengan kepepimpinan yang memberikan contoh (qudwah hasanah) menuju keutamaan moral (makarimal akhlaq), suasana tentram penuh persaudaraan dalam pluralitas, karena mengedepankan visi-misi menyejahterakan umat (al-maslahatu al- ummah).
Jadi hijrah bukan semata-mata perpindahan fisik, apalagi sekadar untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik semata, melainkan, mampu melakukan transformasi mental-spiritual untuk memperoleh ‘kesadaran kolektif’ menuju keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.
Ketiga, transformasi historis dalam konteks saat ini telah dan akan membimbing masyarakat dari kebudayaan jahiliyah menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syariah). Pelanggaran terhadap syariah bagi seorang Muslim bentuk penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri.
Keempat, nilai transformatif kebudayaan dari ajaran hijrah Rasulullah, dengan demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai pradaban Islam yang universal (rahmatan lil-‘alamiin), karena itu pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam, akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat serta kebudayaan manusia secara universal.
Kelima, transformasi martabat kemanusiaan yang yang dilindungi dalam Islam, telah menggariskan pokok-pokoknya seperti melindungi umat (himayatul ummah), melindungi agama (himayatuddin) dan melindungi agama (himayatud daulah), sehingga terwujud perlindungan keturunan, harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, perlindungan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan perlindungan untuk mendapatkan persamaan derajat dan kemerdekaan bangsa Indonesia yang di peringati setiap tahun.
Keenam, transformasi keagamaan dalam konteks hijrah, dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persaudaraan bersifat historis kaum Muslimin dengan Yahudi, Nasrani, sesungguhnya adalah basis utama dari kerisalahan yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita sadar yang pertama menunjukkan ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi seorang pendeta Nasrani ketika bertemu Nabi dan pamannya Abu Thalib berdagang ke Syria. Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum Muslimin ditolong raja Najasy.
Akhirnya transformasi nilai hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah meniscayakan kehidupan umat dan bangsa dapat menstransformasikan nilai-nilai hijrah sehingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Wallahu a’lam bishshowab.