Tantan Hermansah
(Anggota Komisi Infokom MUI Pusat)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ” . (QS Ar-Rum: 41)
Salah satu dampak dari peristiwa wabah saat ini adalah meningkatnya kuantitas sampah untuk beberapa kategori. Sampah-sampah seperti masker, APD, botol-botol kecil bekas hand sanitizer, serta, dan ini yang tidak terprediksi sebelumnya, bekas bungkus belanja online.
Seperti kita ketahui bahwa ada shifting pola belanja masyarakat di era pandemi. Peralihan pola itu dari model belanja luring langsung, menjadi belanja daring atau online. Meski model belanja lama tetap ada, terutama untuk kebutuhan harian, namun tampaknya ada peningkatan kuantitas belanja daring ini. Fakta sederhana adalah di gang rumah tempat tinggal saya, setiap hari ada saja jasa pengantar yang mengirimkan berbagai paket ke rumah. Barang yang diantar bisa beragam ukuran: besar, sedang dan kecil.
Satu hal yang jelas adalah setiap barang yang dikirim melalui paket, selalu dibungkus dengan kardus, plastik, bublewarp, dan sebagainya. Bahkan ada yang packing kayu, plastik keras, styrofoam dan bungkas-bungkus lainnya. Sebagian dari pembungkus itu merupakan barang-barang yang susah didaur ulang. Sehingga menyebabkan tumpukan sampah, dan tentu saja menjadi ancaman serius di kemudian hari.
Belum lagi sampah sekali pakai seperti masker, diapers, dan benda-benda seperti itu. Kuantitasnya jadi semakin meningkat karena keadaannya memang dibutuhkan masyarakat. Namun, minimnya edukasi dan penyadaran tentang bahaya sampah seperti itu, banyak masyarakat kemudian mengabaikannya. Apalagi ketika hukum pasar berlaku, di mana harga-harga dari masker sekarang mengalami penurunan tajam. Sehingga orang merasa tidak ada beban untuk terus membeli masker-masker sekali pakai tersebut.
Coba lihat di televisi, media massa, maupun pemerintah setempat, nyaris tidak ada edukasi tentang penanganan sampai “corona” ini. Semua anjuran atau kampanye 3M atau 5M hanya fokus kepada tindakan mengadakan barang dan tindakan perilaku, tidak ada penjelasan tambahan untuk dampak negatif dari hasil tindakan-tindakan tersebut.
Seharusnya edukasi 3M atau 5M ditambahi dengan penanganan sampahnya. Misalnya, “jangan lupa, setelah melakukan 3M, sampahnya dikelola dengan cara….”. Atau anjurkan sebaiknya gunakan masker yang tidak sekali pakai, sehingga tidak menghasilkan dampak sampah yang besar dan banyak.
Selain sampah-sampah terkait langsung dengan perilaku new normal, seperti yang sudah disebutkan di atas, sampah dari perilaku jual beli daring juga sama. Seperti sudah disinggung di atas, jika sampah akibat yang kedua ini pun tidak dikelola dengan baik, tepat, dan benar, maka bisa dipastikan akan menghasilkan ledakan kuantatitas sampah di kemudian hari.
Di artikel lain, saya menulis bahwa perilaku manusia dalam mengelola sampah sangat terkait dengan nilai-nilai keadaban kita sebagai manusia. Lihat saja, semakin maju dan berada sebuah negara, mereka memperlakukan sampahnya dengan semakin baik. Anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua semua berkontribusi pada pengelolaan sampah mulai dari rumahnya.
Sebaliknya, coba lihat pada sebagian masyarakat kita ketika memperlakukan sampah. Banyak rumah tangga yang justru jangankan paham bagaimana mengelola sampah secara modern, mengelola sampah secara benar saja jauh sekali. Bagaimana sampah itu harus dipilih, dipilah, kemudian dikategorisasi agar mudah pengelolaannya, sungguh jauh.
Lebih ironis lagi, saya membuat dua bak sampah besar di rumah. Hal ini dimaksudkan agar sampah yang dimasukkan ke situ dibedakan minimal pada dua kategori: organik dan non-organik. Bahkan kedua bak sampah itu saya tulisi agar orang-orang mengerti mengenai perbedaan dua bak sampah tersebut.
Namun yang terjadi kemudian adalah ketika petugas sampah mengangkut sampah-sampah tersebut, tidak ada pembedaan. Sampah organik dan non organik dicampurkan begitu saja di mobilnya. Jadi kadang saya merasa sia-sia saja melakukan pemilahan sejak dari rumah, jika kesadaran dari petugas sampah juga tidak ada.
Kembali ke persoalan sampah yang disampaikan pada awal artikel ini, sejatinya menjadi perhatian semua ketika sampah di era pandemi ini. Bukan hanya pada aspek volume yang mengalami peningkatan, namun juga beberapa sampah dikawatirkan merupakan bagian dari sampah yang dihasilkan oleh mereka-mereka yang sedang terkena musibah covid dan sedang melakukan isoman (isoloasi mandiri).
Jika sudah demikian maka pentingnya edukasi atas sampah di era pandemi itu bertambah, karena selain dari kuantitas dan volume, tetapi juga dari aspek lain: jenis sampah itu sendiri.
Coba bayangkan jika sampah yang dihasilkan oleh mereka yang sedang terpapar, dan kemudian sampah itu “diaduk” oleh mereka yang mengambili sampah, atau oleh petugas sampah itu sendiri, dan akhirnya mereka terpapar. Jika para pegawainya terbatas, maka kinerja pengelolaan sampah akan terganggu.
Majlis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah merespons persoalan sampah ini melalui Fatwa MUI No. 41 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan. Dalam Fatwa tersebut dikatakan bahwa: (2) Membuang sampah sembarangan dan/atau membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri maupun orang lain hukumnya haram; (3) Pemerintah dan Pengusaha wajib mengelola sampah guna menghindari kemudharatan bagi makhluk hidup; (4) Mendaur ulang sampah menjadi barang yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan umat hukumnya wajib kifayah
Oleh karena itu, menutup artikel singkat ini maka beberapa rekomendasi perlu dituliskan, yaitu: Pertama , kampanye 3M dan 5M yang selama ini dikemukakan dalam beragam media dan flatform, sebaiknya harus ditambahkan juga pentingnya pengelolaan sampah selama masa pandemi/ wabah ini; Kedua , selain kampanye yang bersifat narasi, perlu juga ada edukasi pratis dan pendampingan agar pengelolaan sampah ini benar-benar efektif di lapangan. Sebab jika tidak kampanye akan berakhir sebagai kampanye saja dan kurang efek; dan Ketiga , untuk tambahan, mereka yang mengelola sampah dengan baik, berprinsip 3R, dan bahkan menghasilkan produk kreatif baru dari sampah tersebut, perlu diberikan insentif. Hal ini agar menjadi motivasi bersama untuk sama-sama menyelamatkan alam dan lingkungan. [ ]